Cerita Bos Rekosistem Membangun Startup yang Untung dari Kelola Sampah

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Warga menyetorkan sampah anorganik di tempat penukaran Rekosistem di Stasiun MRT Blok M, Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Penulis: Amelia Yesidora
9/12/2022, 07.35 WIB

Di tengah maraknya perbincangan masalah lingkungan, Ernest Layman dan Joshua Valentino mencoba hadir dengan startup teknologi bernama Rekosistem. Dalam podcast Impactto, Ernest bercerita bagaimana sektor environment, social, governance kerap terjatuh dalam idealisme dan tidak berfokus pada pengembangan bisnisnya.

Kedua founder ini memulai startup mereka dengan riset di almamater mereka, Universitas Parahyangan, pada 2018 lalu. Melalui kerjasama ini, mereka memulai uji coba alias pilot test sistem pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah. 

Arah awal startup ini adalah sebuah solusi yang mencoba menangani masalah sampah. Namun, dua sekawan ini belum menetapkan bentuk bisnisnya, apakah itu dalam bentuk bisnis konvensional atau profit. Setahun berlalu, Joshua dan Ernest sepakat untuk memulai solusi di bidang pengelolaan sampah, kala itu nama Rekosistem belum lahir. 

“Akhirnya kita ketemu mau bangun produk apa dan dapat kepercayaan dari angel investor,” kata Ernest dalam Impacttalk Vodcast beberapa waktu lalu. “Tapi sayangnya pandemi datang. Kita sesuaikan lagi dengan kondisi baru, another year untuk testing dan piloting. Akhirnya Rekosistem launch pada Februari 2021.”

Startup ESG Harus Tetap Sustainable Secara Bisnis

Beroperasi di masa pandemi, Rekosistem berhasil masuk ke masyarakat dengan menawarkan gaya hidup baru. Mulai dari bertanggung jawab atas sampah masing-masing serta gaya hidup ramah lingkungan. “Karena selama pandemi, orang mau mencoba lihat cara baru dalam hidupnya. Tinggal apakah kita mau ride the momentum atau nggak,” kata Ernest. 

Ia menjelaskan Rekosistem ingin menyelesaikan dua hal, yakni proses pengelolaan sampah yang masih nonformal dan meningkatkan nilai di rantai pasok sampah. Menurut penjelasannya, sampah memiliki nilai ekonomis sebagai bahan mentah yang bisa didaur ulang dan dimanfaatkan kembali. 

Meski Rekosistem berhasil masuk ke ceruk pasar tersebut kala pandemi, namun ada beberapa hal juga yang menyulitkan kinerja awal startup ini. Pertama, belum ada patokan khusus di Indonesia untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Ada beberapa negara yang sudah memulai hal ini seperti Cina, India, atau Amerika Serikat, tapi sistem mereka tidak bisa dipakai lantaran sektor ESG sangat berfokus pada kebijakan lokal.

“Karena masalah lingkungan ini harus disesuaikan dengan sisi sosial, budaya, kebiasaan, bahkan kebijakan pemerintahnya. Pasti berbeda di developed dan developing country,” kata Ernest. 

Kedua, ia menemukan masih banyak lubang yang belum terisi di bidang tenaga kerja atau perusahaan di bidang ESG. Masih belum banyak perusahaan yang bergerak di bidang tersebut. UMKM serta individu yang mengusahakan bagian ini masih sangat informal dan tidak ada standarnya, seperti pemulung sampah. 

Keadaan UMKM serta individu yang masih belum melek digital pun menjadi tantangan bagi Rekosistem. Ernest pun mencoba masuk dengan menawarkan penggunaan aplikasi ponsel sederhana. Untuk individu yang bekerja mengangkut dan memilah sampah, hal yang perlu diketahui adalah alur pemilahan sampah dan pembagiannya ke dalam beberapa jenis.

“Tapi haruskah mereka yang mengoperasikan aplikasinya dan mendata? Enggak juga. Level supervisor atau team leader bisa melakukan itu,” ujar Ernest. 

Dia menyatakan bahwa setiap startup yang ingin masuk ke sektor ESG, wajib memiliki pola pikir untuk membangun bisnis. Terlebih karena di sektor ESG ini termasuk dalam ethical business. Maka dari itu, ada tiga aspek yang harus menjadi target seimbang sebuah startup ESG, yakni profit, people, dan planet.

“Semakin banyak revenue yang dihasilkan, semakin banyak customer, semakin besar dampak lingkungan dan sosial yang diberikan. Tapi first thing first: business mindset harus ada dulu,” ujar Ernest.

Rekosistem Memiliki Dua Layanan Bisnis

Kini Rekosistem memiliki dua layanan, yakni Repick dan Renergi. Repick adalah tiang utama dari bisnis Rekosistem yang berfokus pada digitalisasi rantai pasok sampah untuk meningkatkan pemisahan, pengumpulan, dan daur ulang sampah. Proses digitalisasi ini dilakukan melalui aplikasi Rekosistem di ponsel. 

Sementara itu, Renergi adalah anak bisnis Rekosistem yang fokus mengolah limbah hayati menjadi energi terbarukan. Untuk menjalankan Renergi, Rekosistem memiliki program Household & Community Digester, sebuah tangki yang mengolah sampah produksi rumah tangga untuk dijadikan sumber energi pemanas air. Ada juga tangki micro biogas yang memproses sampah organik menjadi sumber energi serta pupuk.

Reporter: Amelia Yesidora