Startup dinilai berfokus mengejar untung atau membiarkan rugi tapi dengan dua syarat, yakni memiliki product market fit (PMF) yang benar dan berada di jalur yang tepat untuk mencapai profit.
Co-founder sekaligus CEO Modalku Reynold Wijaya menyampaikan, kebanyakan startup melakukan bakar uang atau promosi besar-besaran pada awalnya. “Konteksnya bukan berapa banyak uang yang dibakar,” kata Reynold dalam acara Fortune Indonesia Summit 2023, Rabu (15/3).
Bakar uang itu bertujuan menggaet lebih banyak konsumen. “Perlu investasi di depan, kalau tidak, tidak bisa tumbuh. Perlu merugi tapi ada dua fungsi utama,” tambah dia
Sekalipun startup merugi, investor mendorong perusahaan rintisan menetapkan dua hal yakni:
1. Harus memiliki product market fit yang benar
Product Plan mendefinisikan product-market fit sebagai konsep atau skenario ketika para pelanggan suatu perusahaan mau membeli, menggunakan, dan menyebarkan informasi tentang suatu produk.
Jika itu terjadi pada banyak pelanggan suatu bisnis, maka akan mampu mendukung pertumbuhan perusahaan dan meningkatkan keuntungan.
Profesor Thomas R Eisenmann dari Harvard Business School mengungkapkan, 90% startup gagal karena produk/layanan yang dikembangkan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.
Hal itu senada dengan temuan CB Insights, yakni 42% startup gagal karena tidak berhasil menemukan product-market fit.
Untuk mencapai product market fit yang benar, startup harus melakukan banyak eksperimen. “Banyak hal yang dirasa benar, tetapi kalau belum dicoba tidak tahu,” ujar Reynold.
2. Berada pada jalur yang tepat untuk untung
Menurutnya, hal yang wajar jika perusahaan merugi. Namun harus memiliki jalur untuk mencapai keuntungan atau path to profitability yang jelas.
Ekonom INDEF Aviliani sepakat semua startup pada awalnya melakukan bakar uang. Namun saat ini, investor mendorong perusahaan rintisan portofolio untuk mencatatkan keuntungan.
“Kalau tidak profit, investor akan menarik semua dananya,” ujar Aviliani. “Maka, mereka melakukan efisiensi.”
Bisa juga dengan melakukan kolaborasi. “Sebab, biaya digitalisasi mahal. Investasi di informasi dan teknologi itu mahal, jika semua ingin punya sendiri itu akan sulit," katanya.
Sedangkan teknologi terus berubah. "Jadi dengan kolaborasi, bisa berbagi biaya atau sharing cost dan pendapatan," ujarnya.