Investasi ke startup Indonesia anjlok 87% secara tahunan atau year on year (yoy) dari US$ 3,3 miliar menjadi hanya US$ 400 juta atau sekitar Rp 6,3 triliun selama Semester I. Apa yang harus dilakukan perusahaan rintisan agar bertahan saat pendanaan seret?
Data investasi ke startup itu tertuang dalam laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy SEA 2023’.
Google, Temasek, dan Bain and Company menyampaikan hal-hal yang perlu dilakukan oleh startup agar bisa keluar dari tantangan musim dingin pendanaan atau funding winter. Caranya yakni:
- Valuasi awal yang realistis: startup harus membuktikan bahwa kenaikan valuasi berlangsung rasional yang dibangun di atas fundamental bisnis dan industri yang sesungguhnya, serta mencerminkan ekonomi makro saat ini
- Membuktikan model monetisasi atau cara untuk mendapatkan keuntungan
- Memiliki strategi atau jalur yang jelas untuk untung
- Memiliki perencanaan yang jelas untuk exit
Exit yakni pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri investasi dengan cara yang akan memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan kerugian. Caranya bisa melalui pencatatan saham perdana alias initial public offering (IPO), merger atau akuisisi.
Head of Southeast Asia Temasek Fock Wai Hoong mengatakan, turunnya pendanaan di Asia Tenggara karena berbagai tantangan, seperti:
- Koreksi valuasi startup secara signifikan pada 2021
- Ketidakpastian profitabilitas di beberapa perusahaan
- Kurang kondusifnya situasi pasar modal, yang dapat menyulitkan investor untuk melakukan exit
Walaupun investor kian selektif dalam menanamkan modal di kawasan ini, cadangan dana atau dry powder di Asia Tenggara naik dari US$ 12,4 miliar pada 2021 menjadi US$ 15,7 miliar tahun lalu. Ini mengindikasikan adanya dana yang bisa disalurkan ke startup Asia Tenggara.
“Ekonomi digital Indonesia terus menawarkan peluang investasi yang menarik karena fundamental ekonomi yang kuat,” kata Hoong dalam keterangan pers, Selasa (7/11). Fundamental ekonomi yang dimaksud seperti pertumbuhan populasi tenaga kerja, peningkatan pendapatan konsumen, dan ekosistem startup yang dinamis.
Hoong mengatakan Temasek tetap optimistis terhadap masa depan ekonomi digital Asia Tenggara.
Partner and Head of Vector in Southeast Asia, Bain & Company Aadarsh Baijal menambahkan, investasi ke startup Indonesia sebenarnya menarik. “Ketika kami berbicara dengan investor, sebagian besar dari mereka memilih pendekatan menunggu dan melihat alias wait and see,” katanya saat media briefing Google bersama Temasek dan Bain & Company peluncuran laporan e-Conomy SEA di Google Indonesia Office, Jakarta, Selasa (7/11).
Ia pun memerinci penyebab investasi ke startup Asia Tenggara anjlok tahun ini, termasuk di Indonesia, sebagai berikut:
- Biaya modal tinggi
- Penurunan valuasi startup
- Jalur startup untuk mencapai untung dan lingkungan pasar modal yang menantang, sehingga strategi exit menjadi lebih sulit dicapai
- Perhitungan valuasi startup lebih lama ketimbang tahun-tahun sebelumnya, sehingga proses penutupan pendanaan lebih alot
- Investor berhati-hati dan memilih untuk wait and see
“Investor menunggu musim panas tahun depan untuk melihat bagaimana pasar berkembang dan menunggu untuk mengkalibrasi investasi sejalan dengan tingkat pertumbuhan yang diantisipasi,” kata Aadarsh.
Namun dari sisi skala, kemungkinan lebih kecil ketimbang sebelumnya,” Aadarsh menambahkan.