Teknologi canggih seperti kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dan Internet of Things (IoT) membutuhkan internet yang super cepat supaya bisa bekerja maksimal. Jaringan generasi kelima alias 5G pun disebut-sebut menjadi solusi atas kebutuhan tersebut.
Digital Trends melaporkan, kecepatan internet 4G LTE bisa mencapai satu gigabit per detik (Gbps). Sementara itu, kecepatan internet 5G mencapai 10 kali lipat dibanding 4G LTE. Karena itu, tingkat latensi atau keterlambatan transmisi data 5G lebih rendah, sehingga banyak digunakan untuk AI, IoT dan teknologi canggih lainnya.
Generasi | 2G | 3G | 3G HSPA+ | 4G | 4G LTE | 5G |
Kecepatan maksimum | 0,3 Mbps | 7,2 Mbps | 42 Mbps | 150 Mbps | 300 Mbps- 1 Gbps | 1-10 Gbps |
Kecepata rata-rata | 0,1 Mbps | 1,5 Mbps | 5 Mbps | 10 Mbps | 15-50 Mbps | 50 Mbps and up |
(Baca: Radiasinya Dianggap Berbahaya, Jepang hingga Eropa Tetap Adopsi 5G)
Teknologi seluler seperti ini menggunakan gelombang radio untuk mengantarkan data. Namun kecepatan internet 5G lebih tinggi dibanding jaringan generasi sebelumnya. Kecepatan itu berbanding lurus dengan spektrum frekuensi.
Maka dari itu, 5G menggunakan spektrum frekuensi super tinggi. Spektrum ini memiliki jangkauan yang lebih pendek, tetapi kapasitasnya lebih besar. Karena jangkauannya pendek, operator perlu memasang antena mini cell secara berdekatan di banyak tempat supaya sinyal 5G tidak terhalang.
Cara kerja seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa radiasi 5G lebih berbahaya dibanding generasi sebelumnya, termasuk 4G. “Para kritikus mengatakan tidak ada penelitian yang mendalam terkait dampak 5G bagi kesehatan. World Health Organization mencantumkan sinyal seluler sebagai karsinogen (penyebab kanker) potensial, begitu juga dengan acar sayuran dan kopi,” demikian dikutip dari CNET, beberapa waktu lalu (21/6).
(Baca: Unggul di Kecepatan Internet, 5G Dianggap Berbahaya Bagi Makhluk Hidup)
Lembaga non-profit asal Inggris, principia-scientific menjelaskan, setiap operator perlu membangun base transceiver station (BTS) dengan jarak 100 meter di satu wilayah. Karena itu, operator perlu mendirikan lebih banyak BTS dan berdekatan.
Operator juga perlu membangun pangkalan 5G, yang berisi antena mini cell. Antena ini akan memancarkan sinyal supaya bisa terhubung dengan BTS dan perangkat 5G. Setiap stasiun pangkalan berisi ratusan hingga ribuan antena mini cell.
Komisi Komunikasi Federal Federal Communications Commission (FCC) Amerika Serikat pun membuat aturan yang membatasi radiasi hanya 30 ribu watt per 100 Mhz spektrum. Langkah itu ditempuh supaya bisa mengurangi radiasi yang mungkin ditimbulkan dari antena mini cell 5G.
(Baca: Langkah Kominfo agar Adopsi 5G di Indonesia Lebih Efisien)
Adapun Kepala Dosimetri Radiasi Badan Kesehatan Masyarakat Inggris (Public Health England/PHE) Simon Mann mengatakan 5G bisa merusak otak dan kesuburan. "Ada kemungkinan peningkatan kecil dalam keseluruhan paparan gelombang radio ketika 5G ditambahkan ke jaringan telekomunikasi," kata dia seperti dikutip dari Daily Record.
Dia berharap paparan radiasi 5G terhadap manusia tetap rendah. Karena itu, Juru Bicara PHE pun menegaskan, instansinya bakal mengawasi penggunaan 5G di negaranya sesuai pedoman Komite Internasional terkait Perlindungan Radiasi Non-Ionisasi (ICNIRP).
Pada 2017 lalu, pakar frekuensi radio internasional dari Universitas Helsinki Dariusz Leszczynski mengatakan, jaringan 5G bisa berdampak buruk bagi kulit ataupun mata. “Tampaknya, kita mengalami deja vu, karena pada awal 1980-an kita berpikir bahwa teknologi pemancar berdaya rendah akan aman. Tiga puluh tahun kemudian nampaknya itu mungkin bersifat karsinogenik,” kata dia.
(Baca: Langkah Gencar Telkomsel Kembangkan 5G: Gandeng Huawei hingga Ericsson)