Persaingan industri digital dewasa ini dinilai belum ideal karena tidak menggambarkan persaingan antar negara untuk menciptakan ekosistem yang mumpuni. Namun justru yang terjadi adalah persaingan dua negara besar, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Berdasarkan laporan bertajuk Digital Economy Report 2019 yang disusun oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), AS dan Tiongkok menguasai sekitar 90% nilai pasar dari 70 platform digital terbesar di dunia. Selain itu, keduanya memiliki sekitar 75% dari semua paten terkait teknologi blockchain,
AS dan Tiongkok juga bertanggung jawab atas sekitar 50% pengeluaran global untuk internet of things (IoT) dan mendominasi 75% pasa komputansi awal (cloud).
Head of Telecom, Media & Technology DBS Bank Singapore Sachin Mittal menilai persaingan yang terjadi di industri digital tidak ideal, karena akses ke data konsumen atau big data didominasi oleh pemain besar. Hal ini mengahalangi pemain lokal yang lebih kecil untuk berkembang.
“Tidak seperti raksasa digital, pesaing yang kecil dan pemain lama tradisional tidak memiliki akses ke data pelanggan," kata Sachin dalam keterangan resmi yang diterima Katadata.co.id, Jumat (21/8).
Sebagai gambaran, perusahaan mesin pencarian atau search engine diduga lebih mengutamakan layanannya sendiri atau beberapa pemain e-commerce lebih mengutamakan barang sendiri ketimbang pihak ketiga yang juga memanfaatkan layanannya.
Selain itu, banyak raksasa digital melakukan aksi akuisisi terhadap pemain-pemain lokal yang ukurannya lebih kecil. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari potensi ancaman dari pesaing baru. Hal ini akhirnya berimbas pada tidak terciptanya efisiensi pasar.
Untuk mengatasi masalah inefisiensi, terutama dalam hal akses ke data, Sachin fokus pada tiga hal yaitu privasi data, lokalisasi data dan data universal.
Terkait privasi data, contoh nyata yang terjadi adalah pemberlakuan peraturan perlindungan data umum untuk menyelaraskan Undang-undang (UU) privasi setiap negara anggota Uni Eropa. Sekitar 120 negara sudah menerapkan aturan perlindungan data, sementara 40 negara dan yuridiksi belum merampungkan rancangan aturan.
Meski demikian, pemberlakuan aturan yang tegas dan pukul rata tak jarang justru memperburuk efisiensi pasar. Sebagai bagian dari integral dalam bisnis, penghentian praktik pengumpulan data memberikan tekanan pada pemain kecil yang khawatir dianggap tidak taat.
Poin kedua adalah soal lokalisasi data, di mana setiap negara dipandang perlu untuk memusatkan pengumpulan data di wilayahnya. Seperti Vietnam yang menghadirkan persyaratan lokalisasi data dan mewajibkan perusahaan teknologi untuk beroperasi dengan membuka kantor lokal di wilayahnya.
"Tidak hanya mendorong pembangunan pusat data, kebijakan tersebut juga menciptakan lapangan pekerjaan, menguntungkan perekonomian dan memudahkan pemungutan pajak," ujarnya.
Terakhir, keberadaan data universal yang dapat diakses oleh siapapun bisa menjadi solusi untuk mengatasi inefisiensi di industri digital. Namun pemberlakuan data universal ini bukan tanpa batas, melainkan sebatas data yang bersifat non-pribadi.
Indonesia sendiri dipandang Sacchin dapat memanfaatkan potensi data universal agar perusahaan lokal dapat mengejar ketertinggalan. Selain itu, data universal juga mampu mengurangi kesenjangan dan mengatasi tantangan lokal yang kurang relevan bagi pemain global.
Indonesia serta negara-negara berkembang lain perlu bekerja sama dengan negara-negara maju seperti Uni Eropa, Jepang serta badan regional dan organisasi multilateral untuk bisa menerapkan pola atau aturan yang membangun ekosistem digital. Jika tidak, maka kekuatan lobi raksasa digital global sulit dikalahkan.
Berpedoman pada General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, Indonesia telah menyusun Rancangan UU tentang perlindungan data pribadi yang sedang ditinjau oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika disahkan menjadi UU maka Indonesia akan bergabung dengan 120 negara yang telah menerapkan aturan tersebut.
Kondisi di dalam negeri menjadi perhatian Sacchin, sebab pada 2012 Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan kebijakan lokalisasi data secara ketat. Namun pada 2019 pemerintah dinilai melonggarkan aturan soal lokalisasi data, demi menarik minat investor asing.
Sejak saat itu peraturan pelokalan data hanya berlaku untuk entitas publik dan yang mengoperasikan platform digital atas nama publik. Hal ini mengharuskan semua pemain memastikan bahwa platform dan data digital mereka dapat diakses oleh regulator di manapun lokasinya.
"Dengan tantangan dan kondisi ekonomi digital saat ini, setiap negara harus mencoba memilih campuran pendekatan yang sesuai dengan realita dan keadaan masing-masing," kata Sacchin.