Riset perusahaan telekomunikasi asal Swedia, Ericsson menunjukkan bahwa operator seluler Indonesia bisa meraup pendapatan US$ 8,2 miliar atau Rp 116,1 triliun pada 2030, jika mengadopsi internet generasi kelima (5G). Namun, teknologi ini belum bisa diterapkan di Tanah Air saat ini.
Dalam riset bertajuk ‘Ericsson Mobility Report 2020’, perusahaan teknologi bisa memperoleh US$ 44,2 miliar atau Rp 625,7 triliun dari masifnya digitalisasi pada 2030. Sebanyak 39% di antaranya atau US$ 17,7 miliar (Rp 250,6 triliun) merupakan hasil adopsi 5G.
Dari jumlah tersebut, 47% atau Rp 116,1 triliun di antaranya menjadi ‘jatah’ perusahaan telekomunikasi. “Tetapi, hanya operator seluler yang mau melihat peluang itu yang akan mendapatkan,” ujar Head of Network Solutions Ericsson Indonesia Ronni Nurmal saat acara peluncuran ‘Ericsson Mobility Report 2020’ secara virtual, Selasa (8/12).
Hasil riset tersebut juga mengungkapkan, sektor manufaktur paling potensial menyumbang pendapatan bagi operator seluler. Disusul oleh sektor energi, serta media dan hiburan.
Ronni mengatakan, operator seluler yang mengadopsi 5G sedini mungkin akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar pada 2030. Ia mencontohkan Telstra, operator pertama di Australia yang mengembangkan 5G. “Perusahaan ini bisa kuasai 50% pangsa pasar layanan seluler di negaranya," kata Roni.
Kemudian, LGU di Korea Selatan yang diklaim mempunyai daya tawar pangsa pasar besar setelah mengembangkan 5G pertama di negaranya. “Teknologi ini membuka kemungkinan keunggulan kompetitif," katanya.
Sedangkan di Indonesia, pemerintah belum memiliki spektrum frekuensi khusus 5G maupun regulasinya. Meski begitu, Country Head of Ericsson Indonesia Jerry Soper menilai bahwa perusahaan telekomunikasi di Nusantara perlu mempersiapkan diri dengan mengkaji layanan berbasis 5G apa yang akan potensial ke depan.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan tak dapat menjamin 5G bakal tersedia dalam tiga tahun. "Tergantung kesiapan banyak hal seperti ekosistem, penggunaan (usecase) dan monetisasi, frekuensi, dan lainnya," kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail kepada Katadata.co.id, September lalu (29/9).
Meski begitu, beberapa operator seluler Tanah Air sudah menggandeng perusahaan global untuk mengembangkan 5G. XL misalnya, berkolaborasi dengan raksasa teknologi asal Tiongkok, Huawei.
XL dan Huawei membangun jaringan simplified transport dengan solusi Optical Networking 2.0. Jaringan ini dinilai bisa meningkatkan kualitas layanan, termasuk 5G.
Operator seluler itu juga menggaet Ericsson untuk mengimplementasikan jaringan 5G di kawasan timur Indonesia. Teknologi ini disebut-sebut mampu meningkatkan kinerja jaringan.
Kemudian, Telkomsel menggandeng Huawei untuk mengembangkan Joint Innovation Center 5.0. Kolaborasi ini dalam rangka pengembangan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia. Selain itu, Telkomsel bekerja sama dengan Ericsson.
Pada November lalu, Indosat Ooredoo juga menggaet Huawei untuk membangun jaringan transport berbasis teknologi segment routing IPv6 (SRv6). Ini memungkinkan jalur routing deterministik dan jaminan terkait latensi atau keterlambatan pengiriman data.
Indosat juga menggaet Ericsson untuk menguji coba layanan 5G berbasis 3D Augmented Reality (AR).