Menanti Keampuhan Omnibus Law Jadikan Indonesia ‘Merdeka Sinyal’
Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja memuat aturan tentang telekomunikasi, salah satunya terkait berbagi infrastruktur digital. Pemerintah mengklaim regulasi ini dapat mengatasi persoalan biaya hingga investasi, yang menghambat Indonesia untuk ‘merdeka sinyal’.
Pada 2018, sekitar 5.300 desa atau 11% dari total wilayah di Indonesia belum terakses internet atau blank spot. Sebanyak 3.500 di antaranya berada di Papua. Jumlahnya kini menurun, tetapi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak memerinci datanya.
Selain itu, saat ini ada 12.548 desa yang kualitas internetnya dinilai belum baik karena tidak terakses 4G. Sebanyak 9.113 berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T, sehingga menjadi tanggungan pemerintah. Sedangkan 3.435 lainnya menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G.
Menteri Kominfo Johnny Plate menjelaskan, UU Omnibus Law Cipta Kerja salah satunya memuat tentang migrasi televisi dari analog menjadi digital. Hal ini akan menghemat kapasitas frekuensi 112 Mhz.
Sebab, penggunaan frekuensi 700 Mhz dengan kapasitas 328 Mhz untuk penyiaran terestrial analog bisa dialihkan. “Penghematannya dapat dimanfaatkan untuk layanan telekomunikasi mobile broadband,” kata Johnny kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).
Berdasarkan catatan Kominfo, broadband adalah komunikasi berbasis data dengan kecepatan tingggi yakni 128 Kbps hingga 100 Mbps. Namun, Johnny tidak berkomentar apakah UU Omnibus Law mampu menjadikan Indonesia ‘merdeka sinyal’ secepatnya.
Sebelumnya, ia sempat menyatakan pesimistis Indonesia dapat ‘merdeka sinyal’ tahun ini meski proyek Palapa Ring selesai dibangun. Ini karena masih ada kecamatan dan desa yang belum tersentuh infrastruktur telekomunikasi.
Pada tahun lalu, fiber optik memang sudah menjangkau seluruh provinsi. Namun, baru 79,5% dari total 514 kabupaten/kota yang sudah terhubung dengan fiber optik.
Bahkan, di tingkat kecamatan hanya 35,7% dari total 7.175. Fiber optik adalah sejenis kabel yang terbuat dari kaca atau plastik yang sangat halus untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari satu tempat ke tempat lain.
Selain itu, berdasarkan peta jalan (roadmap) program konektivitas digital, Kominfo baru bisa menyediakan 1.606 menara Base Transceiver Station (BTS) di wilayah blank spot tahun ini. Jumlahnya diprediksi mencapai 5.053 pada 2023.
Pemerintah pun mengalokasikan dana untuk infrastruktur digital dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Sebanyak Rp 30,5 triliun untuk pembangunan teknologi komunikasi dan informasi, yang diperoleh dari alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).
Tantangan Pembangunan Infrastruktur Digital
Penyediaan infrastruktur tersebut bukan tanpa tantangan. Ada persoalan biaya yang nilainya dianggap besar, khususnya untuk fiberisasi dan pembangunan infrastruktur di wilayah 3T.
Oleh karena itu, pada Pasal 71 UU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur tentang berbagi infrastruktur. Bagian ini mengubah Pasal 11, 28, 30, 32, 33, 34, 45, dan 47 UU Telekomunikasi.
Perubahan tersebut memungkinkan pemegang perizinan berusaha untuk bekerja sama dalam menggunakan spektrum frekuensi radio, maupun mengalihkannya. Namun harus dengan izin pemerintah pusat.
Selain itu, pemegang perizinan berusaha wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Besarannya berdasarkan penggunaan jenis dan lebar pita frekuensinya. “Ini memberikan kepastian dan menghilangkan ambiguitas dalam hal kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio,” kata Johnny saat konferensi pers terkait UU Omnibus Law.
UU Cipta Kerja juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha yang memiliki infrastruktur pasif seperti BTS dan fiber optik, untuk membuka akses penggunaan kepada penyelenggara telekomunikasi.
Dari dua ketentuan itu, penyelenggara telekomunikasi dapat menyewa BTS maupun fiber optik milik perusahaan lain, sehingga tidak perlu membangunnya.
Selain itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja memuat tentang upaya pemerintah pusat dan daerah (pemda) memfasilitasi dan memudahkan pelaku usaha dalam membangun infrastruktur digital.
Selama ini, perusahaan telekomunikasi mengeluhkan perihal regulasi pempus dan pemda yang tidak harmonis. Hal ini menyulitkan mereka untuk membangun BTS dan fiberisasi, serta menambah biaya.
"Perlu sinkronisasi regulasi antara pempus dan pemda," ujar Group Head Communication XL Axiata Tri Wahyuningsih kepada Katadata.co.id, Februari lalu (7/2). Hal senada disampaikan oleh Wakil Direktur Utama Hutchison 3 Indonesia Danny Buldansyah.
Namun, keduanya tidak berkomentar perihal perkiraan efisiensi yang mungkin timbul dari adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Sedangkan Vice President Corporate Communications Telkomsel Denny Abidin mengaku masih mengkaji regulasi tersebut. “Kami berharap, dalam pembahasan secara keseluruhan nantinya dapat melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri telekomunikasi di Indonesia,” ujarnya kepada Katadata.co.id, kemarin (5/10).
Di satu sisi, pemerintah mendorong operator seluler untuk fiberisasi atau memodernisasi jaringan dengan cara menghubungkan BTS melalui jalur fiber. Langkah ini akan mengoptimalkan pengiriman data, sehingga mendukung penerapan 5G.
Fiberisasi tersebut dapat meningkatkan kecepatan internet di Indonesia. Apalagi, ada 12.548 desa yang belum terakses 4G.
Namun, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan bahwa biayanya sangat besar. Oleh sebab itu, perlu ada kolaborasi antara operator seluler dengan penyelenggara jaringan fiber optik.
UU Omnibus Law mencakup kolaborasi tersebut. Namun, Merza belum memberikan komentar terkait efisiensi biaya fiberisasi dari adanya regulasi ini.
Sedangkan Ketua ATSI Marwan O Baasir mendukung UU Cipta Kerja. “Pembangunan infrastruktur akan lebih efisien dan efektif. Kami mendukung,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).
Namun, ia juga enggan berkomentar perihal prediksi besaran efisiensi biayanya.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail sempat mengungkapkan bahwa berbagi infrastruktur dapat menghemat hampir setengah biaya. “Akan mengurangi cost 40%,” katanya saat mengikuti acara bertajuk ‘Unlocking 5G Benefits for the Digital Economy in Indonesia’, bulan lalu (24/9).
Selain itu, Kepala Subdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat Kementerian Kominfo Adis Alifiawan sempat mengatakan, bahwa UU Omnibus Law akan menarik minat investor berinvestasi di infrastruktur pendukung 5G. Ini karena regulasinya menjadi lebih jelas.
Sedangkan Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, masih terlalu dini untuk memperkirakan efisiensi biaya pembangunan infrastruktur digital dengan adanya UU Omnibus Law. Ia justru menyoroti perizinan dalam berbagi fasilitas pasif maupun aktif.
“Perizinan itu rawan dipersulit,” kata Heru kepada Katadata.co.id, kemarin (6/10). Sedangkan efisiensinya baru dapat diukur setelah aturan turunannya, berupa Peraturan Pemerintah (PP) terbit.
Regulasi terkait berbagi infrastruktur pasif dan spektrum frekuensi tersebut dapat mengatasi persoalan layanan internet khususnya di kota besar dan sekitarnya. Sedangkan penyediaan internet di daerah 3T menjadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo.
Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Latif mengatakan, dirinya mendapat tugas untuk meningkatkan kualitas internet di 9.113 desa di daerah 3T. “Kami dapat mandat untuk menyelesaikannya dalam dua tahun hingga 2022,” kata dia kepada Katadata.co.id, bulan lalu (17/9).
Salah satu caranya yakni menambah kapasitas satelit. Saat ini, pemerintah memiliki lima satelit. Selain itu, ada empat kepunyaan perusahaan global yang disewa kapasitasnya oleh kementerian.
Kini, kementerian berencana meluncurkan satelit multifungsi yang disebut Satria I dan ditarget beroperasi pada 2023. Satelit itu untuk memenuhi kebutuhan internet di 150 ribu titik layanan publik.
Secara rinci, 93.900 merupakan sekolah/pesantren, 47.900 kantor desa/kelurahan/pemerintahan daerah, 3.700 fasilitas kesehatan, dan 4.500 lainnya.
Anang mengatakan bahwa 90% infrastruktur digital berbasis teknologi satelit. Ini berdampak pada tingginya biaya operasional. "Kami mencari teknologi terbaik hingga menyiapkan satelit Satria I,” kata dia.