Menanti Keampuhan Omnibus Law Jadikan Indonesia ‘Merdeka Sinyal’

Desy Setyowati
6 Oktober 2020, 18:06
Menakar Daya Dorong UU Cipta Kerja Jadikan Indonesia ‘Merdeka Sinyal’
Katadata

Undang-undang atau UU Omnibus Law Cipta Kerja memuat aturan tentang telekomunikasi, salah satunya terkait berbagi infrastruktur digital. Pemerintah mengklaim regulasi ini dapat mengatasi persoalan biaya hingga investasi, yang menghambat Indonesia untuk ‘merdeka sinyal’.

Pada 2018, sekitar 5.300 desa atau 11% dari total wilayah di Indonesia belum terakses internet atau blank spot. Sebanyak 3.500 di antaranya berada di Papua. Jumlahnya kini menurun, tetapi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tidak memerinci datanya.

Selain itu, saat ini ada 12.548 desa yang kualitas internetnya dinilai belum baik karena tidak terakses 4G. Sebanyak 9.113 berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T, sehingga menjadi tanggungan pemerintah. Sedangkan 3.435 lainnya menjadi tanggung jawab operator seluler untuk menyediakan 4G.

Menteri Kominfo Johnny Plate menjelaskan, UU Omnibus Law Cipta Kerja salah satunya memuat tentang migrasi televisi dari analog menjadi digital. Hal ini akan menghemat kapasitas frekuensi 112 Mhz.

Sebab, penggunaan frekuensi 700 Mhz dengan kapasitas 328 Mhz untuk penyiaran terestrial analog bisa dialihkan. “Penghematannya dapat dimanfaatkan untuk layanan telekomunikasi mobile broadband,” kata Johnny kepada Katadata.co.id, Selasa (6/10).

Berdasarkan catatan Kominfo, broadband adalah komunikasi berbasis data dengan kecepatan tingggi yakni 128 Kbps hingga 100 Mbps. Namun, Johnny tidak berkomentar apakah UU Omnibus Law mampu menjadikan Indonesia ‘merdeka sinyal’ secepatnya.

Sebelumnya, ia sempat menyatakan pesimistis Indonesia dapat ‘merdeka sinyal’ tahun ini meski proyek Palapa Ring selesai dibangun. Ini karena masih ada kecamatan dan desa yang belum tersentuh infrastruktur telekomunikasi.

Pada tahun lalu, fiber optik memang sudah menjangkau seluruh provinsi. Namun, baru 79,5% dari total 514 kabupaten/kota yang sudah terhubung dengan fiber optik.

Bahkan, di tingkat kecamatan hanya 35,7% dari total 7.175. Fiber optik adalah sejenis kabel yang terbuat dari kaca atau plastik yang sangat halus untuk mentransmisikan sinyal cahaya dari satu tempat ke tempat lain.

Selain itu, berdasarkan peta jalan (roadmap) program konektivitas digital, Kominfo baru bisa menyediakan 1.606 menara Base Transceiver Station (BTS) di wilayah blank spot tahun ini. Jumlahnya diprediksi mencapai 5.053 pada 2023.

Pemerintah pun mengalokasikan dana untuk infrastruktur digital dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Sebanyak  Rp 30,5 triliun untuk pembangunan teknologi komunikasi dan informasi, yang diperoleh dari alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD).

Tantangan Pembangunan Infrastruktur Digital

Penyediaan infrastruktur tersebut bukan tanpa tantangan. Ada persoalan biaya yang nilainya dianggap besar, khususnya untuk fiberisasi dan pembangunan infrastruktur di wilayah 3T.

Oleh karena itu, pada Pasal 71 UU Omnibus Law Cipta Kerja mengatur tentang berbagi infrastruktur. Bagian ini mengubah Pasal 11, 28, 30, 32, 33, 34, 45, dan 47 UU Telekomunikasi.

Perubahan tersebut memungkinkan pemegang perizinan berusaha untuk bekerja sama dalam menggunakan spektrum frekuensi radio, maupun mengalihkannya. Namun harus dengan izin pemerintah pusat.

Selain itu, pemegang perizinan berusaha wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Besarannya berdasarkan penggunaan jenis dan lebar pita frekuensinya. “Ini memberikan kepastian dan menghilangkan ambiguitas dalam hal kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio,” kata Johnny saat konferensi pers terkait UU Omnibus Law.

UU Cipta Kerja juga mengatur tentang kewajiban pelaku usaha yang memiliki infrastruktur pasif seperti BTS dan fiber optik, untuk membuka akses penggunaan kepada penyelenggara telekomunikasi.

Dari dua ketentuan itu, penyelenggara telekomunikasi dapat menyewa BTS maupun fiber optik milik perusahaan lain, sehingga tidak perlu membangunnya.

Selain itu, UU Omnibus Law Cipta Kerja memuat tentang upaya pemerintah pusat dan daerah (pemda) memfasilitasi dan memudahkan pelaku usaha dalam membangun infrastruktur digital.

Selama ini, perusahaan telekomunikasi mengeluhkan perihal regulasi pempus dan pemda yang tidak harmonis. Hal ini menyulitkan mereka untuk membangun BTS dan fiberisasi, serta menambah biaya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Fahmi Ahmad Burhan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...