Otoritas Tiongkok Mendenda Alibaba dan Tencent Rp 3,24 Miliar

ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song
Ilustrasi, logo Alibaba Group terlihat di kantor pusat perusahaan tersebut di Hangzhou, provinsi Zhejiang, China, Senin (18/11/2019).
15/12/2020, 09.59 WIB

Badan Nasional Regulasi Pasar Tiongkok atau SAMR mendenda raksasa e-commerce Alibaba, anak usaha Tencent, China Literature, dan Shenzhen Hive Box Technology total 1,5 juta yuan atau Rp 3,24 miliar. Alasannya, tidak melaporkan akuisisi.

Alibaba didenda 500 ribu yuan atau Rp 1 miliar, karena meningkatkan kepemilikan saham di perusahaan retail modern Intime Retail Group Co pada 2017. "Perusahaan tidak meminta persetujuan kepada otoritas," demikian dikutip dari Bloomberg, Senin (14/12).

Perusahaan milik Jack Ma itu ingin mendapatkan porsi kepemilikan 73,79% di Intime Retail Group Co. Alibaba memang gencar ekspansi ke retail offline dengan cara akuisisi dalam beberapa tahun terakhir.

Unit bisnis e-book Tencent, China Literature juga didenda Rp 1 miliar, karena tidak melaporkan akuisisi studio film New Classics Media pada 2018. Tencent membangun kerajaan layanan hiburan digital di Tiongkok, dengan gencar berinvestasi untuk memperluas pasar.

Kemudian, perusahaan teknologi logistik di bawah naungan SF Holdings, Shenzhen Hive Box Technology didenda oleh otoritas karena konsolidasi tanpa melibatkan otoritas.

Ketiganya dinilai berpengaruh besar di industri masing-masing. Otoritas khawatir, kegagalan konsolidasi bakal berdampak besar terhadap pasar.

"Ketiganya melakukan banyak investasi dan pengambilalihan.  Kegagalan mereka, untuk secara aktif, memiliki dampak yang relatif parah," ujar otoritas.

Investasi Alibaba dan Tencent di banyak perusahaan (Bloomberg)

Otoritas berharap sanksi tersebut memberikan efek jera kepada perusahaan Tiongkok, meski dendanya relatif kecil dibandingkan nilai kesepakatan. Hukuman ini juga diharapkan menjadi pelajaran bagi korporasi lain yang ingin melakukan konsolidasi.

Ketiganya didenda setelah Beijing menerbitkan aturan antimonopoli pada bulan lalu (10/11). Regulasi ini bahkan membuat harga saham Alibaba dan Tencent masing-masing anjlok 5,1% dan 4,4% sehari setelah pengumuman.

Perusahaan milik Jack Ma itu bahkan menunda rencana penawaran saham perdana alias IPO anak usaha, Ant Group. Penundaan dilakukan setelah Ma bertemu dengan People's Bank of China (PBOC) pada November lalu (1/11), terkait pengawasan sektor keuangan.

Selain Alibaba, China Literature, dan Hive Box, SAMR menaruh perhatian pada merger gim milik Tencent DouYu dengan Huya. Penggabungan ini dinilai berpotensi melahirkan raksasa streaming gim di Tiongkok, yang mirip dengan Twitch besutan Amazon.

Sebenarnya Tiongkok memiliki Undang-undang (UU) Antimonopoli yang terbit pada 2007. Namun, ini berlaku bagi perusahaan asing yang mendominasi pasar.

Pada 2009, aturan itu menjerat Coca-Cola dengan denda US$ 2,3 miliar karena memblokir pembelian China Huiyuan Juice Group. Enam tahun kemudian, perancang cip (chipset) Amerika Serikat (AS) Qualcomm didenda US$ 975 juta dan dipaksa menurunkan royalti.

Beijing kemudian memperbarui aturan antimonopoli pada bulan lalu mengingat bisnis digital berubah dengan cepat dan sulit diukur. Partner di firma hukum Han Kun, Ma Chen mengatakan bahwa otoritas yang membuat regulasi baru itu juga khawatir raksasa teknologi di Tiongkok menjadi terlalu kuat, sehingga mempersulit korporasi lain berkembang. "Ini momen yang menentukan," kata Ma dikutip dari Bloomberg, Selasa (10/11).

Regulator biasanya menggunakan indikator seperti pendapatan atau pangsa pasar untuk menentukan apakah suatu perusahaan melakukan monopoli atau tidak pada perusahaan konvensional.

Indikator itu tidak berlaku bagi perusahaan digital. Sebab, mereka mengontrol informasi berharga atau data yang belum dimonetisasi.

Di satu sisi, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan digital di Tiongkok hampir US$ 2 triliun atau sekitar Rp 28.126 triliun. Khusus untuk Alibaba dan Tencent bahkan melampaui bank milik negara, seperti Bank of China.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan