Negara dengan konektivitas broadband rendah diprediksi memiliki peluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 20%. Syaratnya, dengan memperluas akses internet ke sekolah, sebagaimana dilansir dari laporan Economist Intelligence Unit (EIU) bertajuk Connecting Learners: Narrowing the Educational Divide.
Laporan yang didukung perusahaan telekomunikasi Ericsson tersebut mengombinasikan World Economic Forum Global Competitiveness Index (2017) dan World Bank Human Capital Index (2017). "Hasilnya, ada hubungan yang jelas antara akses internet dengan mutu pendidikan," menurut laporan tersebut, Selasa (13/7).
Laporan juga menjelaskan, setiap kenaikan 10% konektivitas sekolah di suatu negara, maka PDB per kapita berpotensi naik 1,1%. Hasil analisis juga menunjukkan, apabila negara di Afrika, Nigeria meningkatkan konektivitas sekolah ke tingkat yang sama seperti di Finlandia, maka PDB per kapitanya bisa meningkat hampir 20%.
Oleh karena itu, riset dari EIU dan Ericsson merekomendasikan beberapa cara untuk memperluas cakupan internet di sekolah. Pertama, kerja sama atau menjalankan strategi kemitraan dengan institusi umum hingga swasta. Langkah tersebut diperlukan agar koordinasi antar ekosistem dapat terjaga.
Kedua, membangun aksesibilitas dan keterjangkauan. "Kualitas koneksi dan biaya juga menjadi unsur penting," menurut laporan itu.
Ketiga, setelah konektivitas sekolah terbentuk, harus ada kurikulum yang memanfaatkan konektivitas internet. Selain itu, tenaga pengajar seperti guru juga perlu dilatih untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran sehari-hari.
Keempat, perlu ada perlindungan konektivitas. Di mana, penggunaan internet harus dikelola dengan baik untuk memastikan penggunaan yang aman dan terjamin.
Riset juga menyatakan perluasan akses internet ke sekolah perlu dilakukan. Kehadiran konektivitas dinilai mampu menciptakan kesempatan bagi siswa untuk menerima pembelajaran dan keterampilan dengan mutu lebih baik.
Apalagi saat ini sistem pendidikan di seluruh dunia terdampak pandemi Covid-19. Lebih dari 190 negara menutup sekolah selama pandemi. Begitu juga dengan Indonesia.
Ironisnya tak seluruh sekolah di Indonesia memiliki akses listrik, apalagi internet. Sehingga banyak peserta didik yang kesulitan untuk menjalankan kegiatan belajar dari rumah.
Sekolah Dasar (SD) menjadi jenjang paling banyak tak memiliki akses listrik. Sebanyak 6.604 dari 116.783 SD yang tak memiliki fasilitas listrik. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) menyusul dengan 817 dan 86 satuan pendidikan tanpa akses listrik.
Secara keseluruhan terdapat 179.097 satuan pendidikan yang mempunyai akses listrik dan internet. Sebanyak 33.227 satuan pendidikan mempunyai listrik, namun tak tersentuh internet. Sisanya, yakni 7.552 satuan pendidikan tak tersentuh listrik, apalagi internet.
Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun mencatat, tahun lalu ada 12.548 desa yang belum terakses internet generasi keempat (4G). Sebanyak 9.113 berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Sedangkan sisanya di luar 3T, sehingga menjadi tanggung jawab operator seluler.
Untuk mengatasi persoalan itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menerapkan lima strategi. Pertama, meluncurkan kurikulum darurat sebagai panduan belajar jarak jauh pada Agustus lalu. Ini merupakan penyederhanaan kompetensi dasar yang mengacu pada kurikulum 2013.
Itu bertujuan memfokuskan pembelajaran jarak jauh pada kompetensi esensial dan yang menjadi prasyarat ke tingkat selanjutnya. Kurikulum ini pun dapat diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, hingga SMK.
Kedua, menghadirkan materi belajar melalui stasiun TVRI. Murid yang tidak memiliki koneksi internet tapi memiliki televisi, bisa mengakses konten ini.
Ketiga, fleksibilitas dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi sekolah. "Dana ini bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sekolah apapun di masa pandemi, seperti penyediaan protokol kesehatan hingga bantuan bagi guru honorer," kata mantan bos Gojek itu.
Keempat, modul pembelajaran secara luar jaringan (luring) bagi siswa yang wilayahnya tidak terakses internet. "Pembelajaran dilakukan mandiri dan offline. Orang tua dan guru sebagai pembimbing," katanya.
Terakhir, memberikan bantuan paket data gratis bagi siswa, guru, mahasiswa hingga dosen.