Waspadai Modus Penipuan Online, Bijak Bagikan Data Pribadi

Katadata
Penulis: Anshar Dwi Wibowo - Tim Publikasi Katadata
27/10/2021, 10.19 WIB

Tren peningkatan adopsi pembayaran dan belanja daring di Indonesia ikut memicu potensi penipuan online yang marak terjadi di media sosial atau platform digital lainnya. 

Salah satu modus operandi yang banyak kita jumpai adalah pesan tak dikenal yang menawarkan hadiah uang, bahkan hingga meminta kode one-time password (OTP) dengan mengatasnamakan suatu instansi/perusahaan. 

Modus operandi ini menjadi salah satu kedok pelaku untuk mendapatkan akses ke data dan akun pribadi, seperti mobile banking, dompet digital, dan platform e-commerce. Begitu pelaku berhasil melancarkan misinya, mereka bisa mengambil alih akun bahkan menguras isi tabungan Anda. 

Faktanya, kejahatan siber melalui penipuan online tidak bisa lagi dipandang sebagai kasus remeh. Menurut laporan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) pada September 2020, penipuan online (28,7 persen) adalah tindakan kejahatan siber yang banyak dilaporkan.

Terhitung sejak 2016 hingga 2020, terdapat total 7.047 pengaduan kasus penipuan online. Jika dihitung rerata, berarti ada 1.409 kasus penipuan online terjadi setiap tahunnya.

Saat ini terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Adapun pengguna aktif media sosial sebanyak 170 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebanyak 87 persen menggunakan aplikasi jejaring pesan WhatsApp. Sedangkan sebanyak 85 persen mengakses Instagram dan Facebook dengan rerata penggunaan 8 jam 52 menit per hari. 

Menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel A. Pangerapan, dinamika penggunaan ruang digital di Indonesia dimanfaatkan oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan. 

Semuel menyebutkan, ada lima metode yang sering digunakan pelaku untuk melancarkan aksi penipuan di ruang maya. Antara lain phishing, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering

Phishing merupakan modus kejahatan siber paling populer, di mana pelaku mengelabui korban dengan mengirimkan tautan ke email/media sosial yang akan mengarahkannya ke situs palsu. 

Sementara itu, sniffing menggunakan jaringan publik untuk mengambil data atau informasi sensitif secara ilegal. Pada contoh lain, pharming  mengincar perangkat korban dengan menyusupkan malware.

Berdasarkan laporan Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional (Pusopskamsinas) di 2020, pihaknya menerima sebanyak 2.549 kasus email phising di Indonesia. Menurut laporan itu, terjadi peningkatan signifikan pada email phishing karena jumlah pengguna internet melonjak ketika pandemi Covid-19 terjadi.

Namun ada juga beberapa modus operandi lainnya yang mungkin dapat Anda waspadai untuk di kemudian hari. Misalnya, modus pengambilalihan akun pada kartu kredit atau kartu debit yang tanpa kita sadari memberikan seluruh informasi data pribadi kepada pelaku. Atau penipuan berkedok pembaruan data dari oknum yang mengaku dari sebuah bank.  

Langkah waspada

Pemerintah terus melakukan berbagai langkah untuk menindak pelaku penipuan online dan mendorong keamanan data pribadi di kalangan masyarakat. Dalam melaksanakan upaya ini, Pemerintah berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan stakeholder) di berbagai sektor. 

Secara khusus, Kemenkominfo terus berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk mengusut dan menginvestigasi berbagai kasus kejahatan siber, seperti penipuan online hingga kebocoran data pribadi. 

Dalam konteks ini, Kemenkominfo mendukung melalui berbagai investigasi di internet, temuan-temuan hoaks, hingga pengaduan juga pelaporan terkait kasus-kasus kejahatan siber, yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri. 

Saat ini pelaku penipuan online baru bisa dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Selain itu, Kemenkominfo juga melibatkan penyelenggara e-commerce untuk meningkatkan keamanan data pribadi, baik bagi pembeli maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang banyak memanfaatkan platform digital untuk berjualan. 

Salah satu bentuk realisasinya adalah pengiriman pesan broadcast berisi larangan pemberian informasi pribadi milik pengguna kepada orang tak dikenal, terutama yang menyarankan transaksi di luar platform e-commerce. Biasanya, informasi ini berupa kode OTP, nomor rekening, atau PIN/password.

Pada langkah preventif lainnya, Kemenkominfo menginisiasi program Literasi Digital Nasional sejak 2021 hingga 2024 mendatang. Setiap tahunnya ditargetkan 12,4 juta peserta di 514 kabupaten dan kota pada 34 provinsi. 

Melalui agenda tahunan ini, Kemenkominfo mengharapkan total akumulasi 50 juta masyarakat di 2024 dapat memiliki kecakapan digital, salah satunya untuk melindungi data pribadi dan meningkatkan keamanan siber.

Memang literasi digital saja tidak cukup. Kita perlu menyadari bahwa ancaman siber akan selalu mengintai kita. Ruang digital tidak akan pernah 100 persen aman dan selalu ada celah untuk melakukan kejahatan. 

Kita perlu menanamkan pemikiran untuk tidak membagikan data pribadi dan informasi sensitif kepada orang atau kelompok yang tidak dikenal. Apalagi sampai mengunggahnya ke media sosial. 

Jika suatu kali Anda mendapati sebuah email, pesan, chat, atau telepon mencurigakan yang berisi tautan palsu, iming-iming hadiah, dan permintaan kode OTP/PIN, abaikan saja. Bisa jadi Anda tengah diincar oleh pelaku penipuan online

Oleh karena itu, aktifkan kunci keamanan ganda pada perangkat untuk mengurangi potensi penyusupan, dan upayakan mengganti password seluruh akun pribadi secara berkala. Bahaya bisa saja ada di depan mata, tetapi kita sendiri dapat mencegahnya.

Informasi lebih lanjut tentang literasi digital dapat diakses melalui info.literasidigital.id.