Google mengumumkan layanan pembayaran alternatif di Play Store bagi pengembang aplikasi di Korea Selatan. Ini dilakukan setelah pemerintah Negeri Ginseng menekan perusahaan untuk mematuhi regulasi baru terkait sistem pembayaran di toko aplikasi.
Dalam unggahan di blog, Google mengatakan bahwa pengembang perangkat lunak di Korea Selatan dapat menambahkan sistem pembayaran alternatif di Play Store. Saat check-out, pengguna juga bisa memilih layanan bayar untuk pembelian aplikasi.
"Detail tentang cara menerapkan sistem pembayaran alternatif akan diberikan dalam beberapa pekan ke depan," kata Google dikutip dari TechCrunch, Kamis (4/11).
Namun, Google menyampaikan bahwa perusahaan membedakan perlindungan dan fitur pada sistem pembayaran alternatif dengan yang lebih dulu ada di Play Store. Pengembang dan pengguna tidak akan mendapatkan fitur kontrol orang tua, metode pembayaran keluarga, manajemen langganan, program loyalti Play Points, serta kartu hadiah atau gift card.
Di satu sisi, ada 1,5 juta pengguna aplikasi di Korea Selatan yang menggunakan gift card di Google Play Store. Selain itu, lebih dari 12 juta terdaftar menggunakan Play Points.
Meski begitu, Google menyediakan sistem pembayaran alternatif itu karena ada tekanan dari pemerintah Korea Selatan. Negeri Ginseng membuat Undang-Undang (UU) baru yang melarang operator toko aplikasi besar seperti Google Play Store serta App Store dari Apple, memaksa pengembang menggunakan sistem pembayaran mereka.
Komisi Komunikasi Korea Selatan juga akan segera menyusun peraturan penegakan yang mencakip amandemen UU Bisnis Telekomunikasi di negara tersebut.
Pada akhir Agustus (25/8), Komite legislasi dan peradilan Korea Selatan menggelar pemungutan suara terkait amendemen UU Bisnis Telekomunikasi. Perubahan regulasi ini dijuluki ‘Hukum Anti-Google’.
Itu karena amendemen tersebut melarang operator toko aplikasi seperti Google Play Store dan App Store dari Apple memaksa penggunaan sistem pembayaran kepada penyedia konten.
“Dan secara tidak pantas (mereka) menunda peninjauan, atau menghapus konten seluler dari toko aplikasi,” demikian isi catatan parlemen Korea Selatan, dikutip dari Reuters, pada Agustus (25/8).
Sebelumnya, Komisi Perdagangan Adil Korea atau Korea Fair Trade Commission (KFTC) juga mengumumkan denda US$ 177 juta atau Rp 2,5 triliun kepada Google. Dalam keputusan KFTC pada September (14/9), raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) ini dianggap memaksa produsen ponsel menyetujui perjanjian anti-fragmentasi (AFA).
Para produsen smartphone seperti Samsung, Xiaomi, dan lainnya harus menandatangani perjanjian tersebut saat menjalin kontrak strategis dengan Google atas lisensi toko aplikasi dan akses awal ke operasi ponsel.
KFTC menduga, Google menggunakan dominasi pasar Android dalam perjanjian AFA. Google akan memblokir produsen ponsel, apabila menggunakan OS pesaing seperti Alibaba atau Amazon.
"Denda ini sangat berarti, karena memberikan peluang untuk memulihkan persaingan di masa depan dalam pasar sistem operasi dan pasar aplikasi,” kata Ketua KFTC Joh Sung-wook dikutip dari The Verge, pada September (14/9).