Menyelami Cyber Security: "Kami Cepat-cepatan dengan Orang Jahat"

SecurityMadeSimple.org
Ilustrasi hacker
Penulis: Amelia Yesidora
19/9/2022, 07.00 WIB

Farel sedang menikmati waktu luang kala laman Twitter-nya menampilkan unggahan kebocoran data masyarakat Indonesia. Perusahaan keamanan data asal Singapura, Dark Web, mencuit bahwa peretas bernama Bjorka menjual miliaran data pribadi penduduk RI di laman breached.to.

Data ini diperoleh dari database Indihome, Komisi Pemilihan Umum, Kominfo, hingga Badan Intelijen Negara. Sontak, media massa hingga warga Indonesia ramai membahas penyebab serta aktor di balik miliaran data yang dibobol tersebut.

Berkutat dengan kemanan siber selama lebih dari lima tahun, kasus menarik perhatian Farel. Ia mahasiswa angkatan pertama jurusan Cyber Security BINUS University, Jakarta. Sejak lulus sekolah menengah atas, lelaki ini memang tertarik dengan dunia teknologi dan informasi, namun tidak ingin menjadi lulusan IT pada umumnya.

Dengan dasar itu, ia kemudian memberanikan diri mendaftar ke jurusan yang masih baru tersebut. “Saya mau lebih terspesialisasi ke satu bidang. Biar bisa fokus ngedalamin bidang itu,” kata Farel saat berbincang dengan Katadata

Kini, ia bekerja sebagai seorang threat analyst di sebuah vendor keamanan data yang berbasis di Amerika Serikat. Meski begitu, Farel tidak bekerja di kantor pusat Amerika Serikat, melainkan di kantor cabang terdekat, Singapura.

Dari penuturannya, perusahaan ini menerapkan sistem kerja dari mana saja alias work from anywhere, namun tetap ada ikatan yang membuat Farel hijrah ke Singapura. “Most of the time diwajibkan berada di Singapura, jadi ya pindah dari Jakarta,” ujarnya.

Bertanggungjawab Atas Keamanan Data Klien 

Hari berganti hari, Farel tidak terlepas dari pemantauan perangkat lunak dan perangkat keras perusaaan yang menjadi klien kantornya. Ia ditugaskan untuk menjaga data-data tetap aman dan tidak dapat diakses oleh pihak luar. Pekerjaan ini yang membuatnya akrab dengan keamanan data pribadi, baik dalam cakupan besar ataupun pribadi. 

“Persaingannya tinggi. Kami cepat-cepatan dengan orang jahat sebenarnya. Kami harus pastikan perusahaan enggak terpengaruh dari satu celah keamanan. Sebelum ada yang menyerang, harus diselesaikan dulu masalah keamanannya,” ujar Farel.

Untuk mempermudah tugas pemantauan itu, Farel menggunakan program Security Information and Event Management alias SIEM. Program ini membantu mengumpulkan log data, jaringan, hingga fasilitas antivirus dari seluruh komputer yang ada di satu perusahaan.

Program SIEM ini dapat mengeluarkan peringatan alias alert yang dirumuskan dalam sebuah sistem tiket. Tugas threat analyst seperti Farel adalah mengambil tiket itu, menginvestigasi, dan mengembalikannya ke SIEM. 

Sistem ini pun dapat menghubungkan data yang datang, sehingga diperoleh informasi asal data tersebut sebelum masuk ke komputer. Hal ini tentu memudahkan penggunanya, terlebih di perusahaan yang memiliki ribuan komputer dan banyak data.

Bagaimana Prospek Pekerjaan Cyber Security?

Sebelum bekerja di perusahaan sekarang, lelaki 24 tahun itu memulai kariernya di sebuah bank swasta besar Tanah Air. Ia mengemban tanggung jawab yang sama yakni menjaga keamanan siber di bank tersebut, termasuk keamanan data nasabah. 

Setelah membandingkan lapangan kerja di Tanah Air dan luar negeri, Farel berkesimpulan bahwa pekerjaan ini sedang banyak dibutuhkan oleh perusahaan, termasuk dari pemerintah Indonesia. Tenaga perekrut menawarkan angka yang bervariasi untuk level pekerja pemula, lantaran ilmu untuk pekerjaan ini pun masih tergolong baru dan persaingannya cukup tinggi.

Menurut Farel, kebanyakan perusahaan menawarkan gaji di angka Rp 7 juta per bulan, sedangkan startup bisa menawarkan lebih tinggi, yaitu di rentang Rp 8 juta hingga Rp 10 juta. “Dilemanya, kalau kerja di perusahaan yang sudah settle, jenjang karier aman dan fasilitas pun ada. Kayak asuransi, lebih mudah cicilan motor, rumah, dan mobil,” ceritanya. 

Menekuni pekerjaan ini selama tiga tahun di Indonesia, Farel bercerita ada peningkatan yang signifikan dari sisi upah kerjanya. Ia menilai pekerjaan ini cukup menjanjikan lantaran ada peningkatan hampir 100 %.

Nilai ini belum termasuk bonus yang diberikan atas performa kerjanya, yang bisa bernilai lima kali dari gaji bulanannya. “Kalau dihitung gaji, bonus, THR, tunjangan akhir tahun, rata-rata bisa dapat di atas 20 juta per bulan,” kata Farel.

Meski pekerjaan ini menawarkan keuntungan yang terbilang tinggi dibandingkan pekerjaan lainnya, Farel dan teman-temannya cenderung kurang tertarik untuk bekerja di lembaga pemerintahan. Birokrasi pemerintah yang tidak sefleksibel korporasi ataupun startup menjadi alasan utamanya.

Hal ini menjadi perhatian besar lantaran ilmu yang digunakan para pekerjanya berkembang dengan cepat. Bahkan, dalam penuturan Farel, kelemahan baru dalam satu sistem bisa muncul dalam waktu satu atau dua bulan saja.

Alasan birokrasi ini juga yang membuatnya hijrah ke negara Singapura. Ia merasa pergerakannya di bank pun tidak sefleksibel kantor barunya. Selama bekerja di Singapura, ia bertemu dengan orang-orang yang memiliki visi sama dan kultur kerja yang lebih menarik. Perbedaan kultur kerja ini juga yang menjadi alasan Farel hengkang dari kantor lamanya.

Tidak hanya Farel, teman-teman satu jurusannya pun banyak yang kemudian mencari peruntungan di negara lain. Apalagi gaji di sana terus bertambah. "Kalau saya sendiri hitung per tahun ada sekitar 350 %. Memang biaya hidup di sini lebih mahal, tapi saya bisa menabung sebanyak jumlah gaji saya di Indonesia dulu,” tutur Farel.

Reporter: Amelia Yesidora