IFSoc Usulkan Basis Data Universal untuk Lacak Pelaku Fraud di Industri Fintech

Katadata
Anggota Steering Committee IFSoc, Tirta Segara, dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun IFSoc 2024 daring di Jakarta, Kamis (19/12).
20/12/2024, 09.32 WIB

Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendorong pembentukan inisiatif universal fraud database untuk mempersempit ruang gerak pelaku kecurangan atau fraudster dalam industri jasa keuangan, termasuk di sektor digital. 

“Dengan berkembangnya transaksi dan jenis-jenis produk yang sifatnya hybrid, kita perlu universal fraud database yang lebih luas untuk mempersempit ruang gerak fraudster,” kata Anggota Steering Committee IFSoc, Tirta Segara, dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun IFSoc 2024 daring di Jakarta, Kamis (19/12). 

Universal fraud database merupakan sistem atau platform yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan berbagi informasi tentang berbagai jenis penipuan secara terpusat. Integrasi data dinilai penting karena setiap pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) sebenarnya telah memiliki catatan internal tentang profil pelaku kecurangan. 

Ia menyebut, data yang saling terhubung antara satu otoritas dengan otoritas lainnya, memungkinkan lembaga jasa keuangan (LJK) untuk melakukan pengecekan secara menyeluruh, memastikan apakah calon peminjam atau pengguna jasa tercatat sebagai fraudster. 

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total laporan kasus scam mencapai 155 ribu dengan total kerugian Rp 2,5 triliun. Sebelummya, OJK dan Bank Indonesia (BI) menginisiasi langkah dalam memerangi fraud dengan meluncurkan inisiatif Indonesia Anti Scam Center (IASC).

Sebanyak 2.622 laporan telah masuk ke IASC, yang menghasilkan pemblokiran 1.454 rekening dengan total dana yang diblokir Rp 7,7 miliar. Tingkat keberhasilan pelaporan mencapai 31,15%, sementara keberhasilan pemblokiran mencapai 28,18%.

“Data fraudster harus dikumpulkan menjadi satu universal database yang akan dijadikan referensi untuk setiap transaksi,” tambah Tirta, yang juga merupakan Anggota Dewan Komisioner OJK periode 2017-2022.

Dia juga menyoroti tantangan terkait perlindungan data pribadi (PDP) dalam pelaksanaan inisiatif ini. “Perlu dipertegas bahwa data fraudster harus dapat diakses dengan aman. Jika tercatat dalam database, mereka tidak akan bisa memperoleh pinjaman atau melakukan transaksi,” jelas Tirta.

Tirta menekankan pentingnya kolaborasi antara regulator, industri, dan masyarakat dalam upaya memberantas fraudster. Ia mendorong peningkatan kerja sama dengan inisiatif seperti IASC dan pedoman teknis Ketentuan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (KASPI).

Inisiasi dalam Memerangi Fraudster di Industri Jasa Keuangan:

  • Indonesia Anti Scam Center (IASC)
    Pusat pengaduan yang didirikan oleh OJK untuk menangani laporan terkait scam. 
  • Gerakan Nasional Cerdas Keuangan (GENCARKAN)
    Inisiatif OJK untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat guna mengurangi kerentanan terhadap penipuan keuangan.
  • Gerakan Bersama Perlindungan Konsumen (GEBER PK)
    Program kolaborasi antara BI, OJK, Komisi Nasional Perlindungan Konsumen, dan pelaku industri untuk melindungi konsumen dari risiko penipuan melalui edukasi dan pendampingan.
  • Ketentuan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (KASPI)
    Pedoman teknis dari BI yang mengatur penundaan dan penolakan transaksi terduga fraud, serta percepatan pengembalian dana secara efektif.
  • Sistem Informasi Pelaku (SIPELAKU)
    Kebijakan OJK yang sedang difinalisasi untuk mendata pelaku penipuan di industri jasa keuangan, mempermudah identifikasi fraudster, dan mencegah aktivitas ilegal.
Reporter: Kamila Meilina