Sebuah investigasi mengungkap eksistensi grup Telegram yang melibatkan lebih dari 70.000 pria dari berbagai negara. Grup-grup ini diduga menjadi tempat bertukar informasi eksplisit, gambar, video, serta saran mengenai pelecehan seksual terhadap perempuan.
Investigasi yang dipimpin oleh jaringan penyiaran publik Jerman, ARD, menemukan grup Telegram tempat anggota berbagi materi kekerasan seksual, termasuk serangan yang terekam langsung.
Dilansir dari International Business Times, dalam percakapan yang sebagian besar menggunakan bahasa Inggris, anggota grup memberikan panduan terperinci tentang cara menyerang perempuan mulai dari pasangan, ibu, hingga saudara perempuan.
Beberapa anggota bahkan dilaporkan menyediakan tautan ke toko online yang menjual obat penenang yang disamarkan sebagai produk sehari-hari. Salah satu anggota membual tentang membius istrinya dan menawarkan korban kepada orang lain.
Telegram didirikan pada tahun 2013 oleh Pavel Durov dan Nikolai Durov. Dua bersaudara asal Rusia yang sebelumnya menciptakan VKontakte (VK), salah satu platform media sosial terbesar di Rusia.
Aplikasi ini kini memiliki lebih dari 950 juta pengguna di seluruh dunia. Popularitasnya meningkat karena menawarkan fitur enkripsi, obrolan rahasia, dan kemampuan membuat grup dengan anggota dalam jumlah besar, yang kini terbukti disalahgunakan oleh pihak tertentu.
Telegram menggunakan enkripsi end-to-end yang memungkinkan percakapan antar pengguna hanya dapat diakses oleh pengirim dan penerima. Sistem ini sering kali dipuji karena melindungi privasi pengguna, namun di sisi lain, menjadikannya tempat berkembangnya aktivitas ilegal yang sulit dipantau.
Dilansir dari Reuters, meski mengklaim memiliki kebijakan toleransi nol terhadap konten ilegal, Telegram berulang kali dikritik karena menolak bekerja sama dengan inisiatif internasional seperti National Center for Missing & Exploited Children (NCMEC) dan Internet Watch Foundation (IWF) yang berupaya menghapus konten berbahaya dari dunia maya.
Pendiri Telegram, Pavel Durov, bahkan ditangkap di Prancis pada Agustus 2024 atas tuduhan gagal mengontrol penyalahgunaan platformnya dalam mendukung aktivitas kriminal. Ia dibebaskan dengan jaminan sebesar £4,1 juta atau setara Rp 81,6 miliar (kurs Rp19.907,1 per £), namun tetap menjadi tahanan rumah saat menunggu persidangan.
Temuan investigasi dalam penyalahgunaan platform tersebut meningkatkan kekhawatiran terhadap pelecehan perempuan. Data menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan berusia 16-74 tahun di Inggris dan Wales pernah mengalami kekerasan seksual.
Pada 2022 saja, sekitar 798.000 perempuan di Inggris menjadi korban pemerkosaan, dengan mayoritas pelaku adalah orang-orang terdekat, termasuk pasangan intim.
Wanita secara tidak proporsional berisiko dari orang-orang terdekat mereka. Studi menunjukkan bahwa mereka 46% lebih mungkin diperkosa oleh pasangan intim daripada oleh kenalan lainnya.
Pengungkapan ini memicu seruan internasional untuk meningkatkan regulasi terhadap platform digital. Di Inggris, Online Safety Act 2023 mewajibkan platform media sosial bertanggung jawab melindungi pengguna dari konten ilegal dan eksplisit.
Penggunaan aplikasi pesan terenkripsi untuk memfasilitasi kejahatan menunjukkan tantangan besar dalam menyeimbangkan privasi dan keamanan publik.