Pemerintah terus mengkaji upaya pencapaian target nol emisi karbon di Indonesia dapat lebih cepat dari pada proyeksi awal di tahun 2060. Salah satunya dengan menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) menuju net zero emission.
Dokumen LTS-LCCR 2050 disusun berdasarkan kondisi perekonomian dengan mempertimbangkan penurunan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dokumen ini juga meyakini pembelajaran atas rentannya kondisi sosio-global menghadapi pandemi Covid-19 dengan tetap optimis mengacu prospek pemulihan pasca-pandemi serta kebijakan nasional seluruh sektor hingga 2050.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan sektor pertanian, kehutanan, penggunaan lahan, dan energi sangat menentukan jalan untuk menuju tahun 2050. Dengan skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target), secara nasional Indonesia akan mencapai puncak emisi karbon pada 2030.
Pada tahun tersebut, sektor kehutanan dan penggunaan lahan sudah mulai mencapai penyerapan bersih atau net sink. Siti berharap semua sektor dapat menggenjot penurunan emisi gas rumah kaca di 2050. Dengan begitu bisa tercapai ketahanan iklim pada 2050.
Siti mengatakan tahun 2050 merupakan periode yang tengah dituju pemerintah dalam mencapai target nol emisi karbon. Meskipun sebelumnya dari berbagai kekuatan kapasitas dan kebijakan serta implementasi yang ada, Indonesia diperkirakan dapat mencapai net zero emission di tahun 2060.
"Namun hasil pendalaman bersama Kementerian ESDM dan jajaran jurusan sektor energi seperti PLN, Pertamina, dunia usaha dan swasta termasuk DEN sedang mencoba mendalami kemungkinan bisa net zero lebih awal dan menuju 2050," kata Siti dalam acara 'Indonesia Green Summit 2021' secara virtual, Senin (26/7).
Lebih lanjut, menurut Siti LTS-LCCR 2050 menjadi kontribusi Indonesia dalam rangka pencapaian tujuan global. Untuk mengejar target ini, pemerintah akan mengutamakan pencapaian pembangunan nasional dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penurunan emisi dan pertumbuhan ekonomi.
Berbagai langkah telah dilakukan pemerintah dalam upaya mitigasi maupun kegiatan adaptasi perubahan iklim. Indonesia pun memiliki komitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).
Dokumen NDC menetapkan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional yang memadai pada 2030. "Kami sudah mempersiapkan kebijakan operasional dalam berbagai instrumen dan implementasi perubahan iklim yang mengikuti strategi dan peta jalan untuk mitigasi dan adaptasi," katanya.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target pemerintah dalam mencapai nol emisi karbon masih kurang. Padahal secara teknis dan ekonomis Indonesia sebenarnya mampu mencapai nol emisi di sektor ketenagalistrikan pada 2045.
Laporan IESR berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan capaian tersebut lebih cepat dibandingkan sektor transportasi dan industri yang mencapai kondisi yang sama pada 2050.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan akan lebih mudah (low hanging fruit) dalam upaya dekarbonisasi sistem energi Indonesia. "Untuk itu, satu dekade ini sangat menentukan," ujarnya.
Setidaknya ada empat hal yang perlu terjadi dalam satu dekade mendatang. Pertama, akselerasi energi terbarukan. Kedua, penghentian pembangunan PLTU batu bara baru sebelum 2025. Ketiga, percepatan penghentian PLTU terutama berjenis subcritical. Keempat, modernisasi grid.
Elektrifikasi sektor transportasi dan industri juga dimulai bersamaan dengan proses dekarbonisasi yang mendalam di sektor ketenagalistrikan. Akibatnya, penurunan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan akan berkontribusi signifikan pada pengurangan emisi dibandingkan sektor transportasi dan industri.
IESR membuat skenario yang menunjukkan permintaan listrik dari sektor transportasi dan industri terus meningkat menuju 2050. Sekitar 50% listrik diproduksi oleh energi terbarukan pada 2030 dari 140 GW pembangkit listrik energi terbarukan, sebelum akhirnya mencapai 100% energi terbarukan pada 2045.