Matahari bersinar terik ketika saya keluar dari terminal kedatangan di Bandara di Sharm el Sheikh, Mesir. Suhu berkisar 29° celsius tetapi terasa nyaman. Hari itu, Sabtu (10/6) suasana di bandara padat oleh pengunjung. Sebagian besar datang ke kota ini untuk menghadiri Conference of Parties (COP) ke-27.
Nama Sharm el Sheikh mungkin terasa asing bagi sebagian besar orang Indonesia. Padahal, ini adalah salah satu destinasi wisata unggulan Mesir. Terletak di Semenanjung Sinai, kota ini berhadapan langsung dengan Laut Merah. Tidak heran jika Sharm, begitu orang-orang lokal biasa menyebutnya, terkenal sebagai kota resort yang menawarkan segudang wisata menarik. Mulai dari pengalaman tak terlupakan di padang gurun hingga atraksi bahari yang menawan.
Menuju Sharm el Sheikh bisa ditempuh dengan beberapa rute dari Indonesia. Sayangnya, tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju Kairo atau Sharm. Namun, ada opsi penerbangan transit melalui Dubai, Muscat, Jeddah, atau Istanbul yang bisa menjadi pilihan.
Dari kota-kota utama di Timur Tengah itu, penerbangan bisa dilanjutkan menuju Kairo dan
berganti maskapai Egypt Air untuk menuju Sharm el Sheikh. Bahkan jika transit di Istanbul, penerbangan bisa dilakukan langsung menuju Sharm tanpa harus mampir di Kairo.
Sharm el Sheikh terlihat betul mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi tuan rumah COP27. Selama dua pekan ke depan, dari tanggal 6-18 November 2022, sekitar 40.000 orang diperkirakan akan menghadiri konferensi perubahan iklim di Sharm. Ini termasuk 100 lebih kepala negara dari seluruh dunia yang akan hadir dalam World Leaders Summit pada dua hari pertama COP27.
Perjalanan dari bandara menuju pusat kota cuma menghabiskan waktu 20 menit saja. Dengan populasi hanya 73.000 ribu orang, nyaris tidak ada kemacetan di kota ini. Jalanan terlihat lebar dengan aspal hitam yang terlihat masih baru. Resort dan hotel mewah terlihat berjejer di kanan dan kiri jalan.
Khaled, sopir taksi yang mengantarkan saya menuju hotel, bercerita Sharm el Sheikh sedang giat membangun. Setelah pandemi Covid-19 mereda, banyak proyek pembangunan hotel dan resort yang kembali berlanjut.
Kota Perdamaian
Sebuah poster hijau besar bertuliskan ‘Sharm el Sheikh, City of Peace and Love’ terpampang besar di terminal kedatangan bandara. Julukan ini bukan tanpa alasan. Sharm, berpengalaman menjadi tuan rumah dari sejumlah agenda penting terutama bagi negara-negara di Timur Tengah.
Pada 1999 misalnya, perjanjian damai antara Israel dan Palestina pertama kali digelar di Sharm el Sheikh. Begitu pula dengan konferensi Intifada Palestina yang digelar setahun kemudian. Pada 2000-an, Sharm juga menjadi tuan rumah sejumlah agenda kelas dunia. Mulai dari konferensi soal Irak dan pembangunan Timur Tengah hingga World Economy Forum.
“Kami banyak menerima tamu orang asing,” kata Khaled dengan bangga.
Sharm punya fasilitas kelas dunia untuk menjadi tuan rumah event internasional. Sepanjang ‘Salam Road’ yang berarti ‘Jalan Perdamaian’, sejumlah gedung MICE berjejer berdampingan. COP27 sendiri akan digelar di Sharm El-Sheikh International Convention Center (SHICC).
Tidak hanya itu, Sharm juga menawarkan sejumlah atraksi wisata menarik. Sekitar 20 kilometer dari pusat kota, ada Taman Nasional Ras Muhamad yang disebut-sebut sebagai salah satu spot diving di Laut Merah. Lokasi Sharm juga tidak jauh dari Gunung Sinai, yang dipercaya sebagai tempat Nabi Musa menerima wahyu dari Sang Pencipta.
Sharm memang bukan tipikal kota tua nan kuno seperti kebanyakan atraksi wisata di Mesir. Namun, dengan gurun Sinai dan Laut Merah yang mengapitnya, Sharm el Sheikh menjadi wajah Mesir yang berbeda selain piramida atau patung Sphinx.