Bukan Pesawat, Ini Penyumbang Emisi Terbesar di Sektor Transportasi
Institute for Essential Service Reform (IESR) menyampaikan sektor transportasi merupakan penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar kedua yaitu sebesar 23%. Transportasi darat merupakan penyumbang emisi GRK tertinggi di sektor transportasi, yaitu sebesar 600 MtCO2eq atau 90% dari seluruh sektor transportasi.
Jumlah tersebut mendekati sektor energi yang menempati posisi pertama penghasil emisi GRK terbesar pada 2021. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, meminta agar pemerintah tidak hanya fokus pada sektor ketenagalistrikan jika ingin mencapai target emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) pada 2060.
"Jadi pemerintah harus terus melakukan sejumlah upaya untuk mengurangi emisi GRK pada transportasi, karena kalau kita lihat sumber emisi di Indonesia itu, tidak saja berasal dari ketenagalistrikan tapi berasal juga dari industri dan transportasi," ujar Fabby dalam acara IESR bertajuk 'Peta Jalan Dekarbonisas Transportasi Indonesia', melalui siaran daring, Selasa (5/12).
Fabby mengatakan, emisi transportasi diperkirakan akan terus naik jika pemerintah dan masyarakat tidak bekerja sama berupaya mengurangi emisi GRK pada sektor transportasi darat. Pasalnya, konsumsi bahan bakar minyak akan terus meningkat.
"Emisi di sektor transportasi ini disumbang hampir seluruhnya berasal dari transportasi darat, apalagi transportasi darat masih banyak menggunakan bahan bakar fosil," kata dia.
Sesuai dengan target Paris Agreement (LCCP), emisi dari transportasi di Indonesia perlu diturunkan menjadi 100 MtCO2eq pada tahun 2050. Sedangkan dalam perhitungan IESR, seluruh sektor energi termasuk transportasi harus mendekati nol emisi pada 2050 jika ingin kenaikan suhu global tetap berada di bawah 1,5 derajat celcius.
"Maka untuk mencapai hal tersebut, elektrifikasi transportasi dan pemanfaatan bahan bakar berkelanjutan perlu diprioritaskan," kata dia.
Tingkatkan Kendaraan Listrik
Dia mengatakan, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi emisi GRK akibat transportasi darat yakni, dengan meningkatkan penggunaan kendaraan listrik. Menurut Fabby, adanya penggantian komponen mesin pembakar internal (Internal Combustion Engine/ICE) pada kendaraan listrik tidak hanya menjadi solusi untuk mengurangi emisi GRK, melainkan juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis.
"Tapi sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kendaraan listrik tidak dapat menjadi solusi pengurangan emisi GRK, karena sumber listrik untuk pengisiannya masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil," kata dia.
Berdasarkan perhitungan Perusahaan Listrik Negara (PLN), kendaraan listrik lebih hemat ongkos dan energi dibanding kendaraan dengan BBM.
Sebagai gambaran, per jarak tempuh 10 km diperlukan 1 liter BBM atau setara dengan 1,2 kWh listrik. Untuk BBM 1 liter, biaya yang perlu dikeluarkan sebesar Rp 14 ribu. Sedangkan, untuk 1,2 kWh listrik, harga yang dikeluarkan sebesar Rp 2.500 dengan asumsi tarif listrik sejumlah Rp 1.699,5 per kWh.
Tidak hanya itu, emisi yang dikeluarkan kendaraan BBM pun dua kali lebih besar. Untuk jarak tempuh 10 km yang membutuhkan 1 liter BBM, emisi yang dikeluarkan sebesar 2,4 kg CO2e. Untuk kendaraan listrik, emisi yang dikeluarkan sebesar 1,02 kg CO2e.