KTT Iklim COP28 meluncur menuju perpanjangan waktu dengan para negosiator menunggu rancangan kesepakatan baru setelah banyak negara mengkritik versi sebelumnya yang terlalu lemah, karena tidak mencantumkan penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
Negara-negara yang berkumpul di KTT Dubai berusaha menyepakati rencana aksi global untuk membatasi perubahan iklim dengan cukup cepat guna mencegah banjir yang lebih parah, panas yang fatal, dan perubahan yang tidak dapat dipulihkan pada ekosistem dunia.
Pada Senin (11/12), sebuah rancangan kesepakatan akhir, yang diterbitkan oleh Uni Emirat Arab, menyarankan delapan opsi yang "dapat diambil oleh negara-negara untuk mengurangi emisi." Salah satunya adalah "mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil, dengan cara yang adil, teratur dan merata untuk mencapai titik nol pada, sebelum, atau sekitar tahun 2050".
Ini akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah, sebuah konferensi iklim PBB menyebutkan pengurangan penggunaan semua "bahan bakar fosil".
Namun, langkah ini tidak mencapai "penghentian penggunaan batu bara, minyak, dan gas" yang diminta oleh banyak negara, atau penekanan untuk mengurangi penggunaannya dalam dekade ini. Padahal, menurut para ilmuwan penghentian energi fosil perlu dilakukan untuk mencegah perubahan iklim yang semakin parah.
Para negosiator sedang menunggu teks baru ketika konferensi akan ditutup pada pukul 07.00 GMT, Selasa (12/12). Meskipun, para delegasi mengatakan bahwa tenggat waktu tersebut sudah tidak memungkinkan lagi. Seperti pengalaman sebelumnya, KTT COP jarang selesai sesuai jadwal.
Para peserta dari Australia, Kanada, Chili, Uni Eropa, Norwegia, dan Amerika Serikat mengkritik rancangan tersebut dikritik sebagai rancangan yang terlalu lemah. Mereka adalah bagian dari 100 negara yang menuntut komitmen yang kuat untuk menghentikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas.
Emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama perubahan iklim. "Sebagian besar negara menginginkan teks yang lebih kuat, pengurangan bertahap dengan tujuan untuk penghentian jangka panjang, atau transisi dari bahan bakar fosil," ujar Menteri Luar Negeri Norwegia Espen Barth Eide kepada Reuters.
Menteri Lingkungan Hidup Brasil Marina Silva mengatakan Brasil menginginkan teks yang lebih kuat untuk meninggalkan bahan bakar fosil, tetapi teks yang menjelaskan bahwa negara-negara kaya dan miskin dapat melakukannya dalam jangka waktu yang berbeda.
"Salah satu kekurangannya adalah tidak ada upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil," kata Silva kepada para wartawan mengenai rancangan kesepakatan tersebut.
Perwakilan negara-negara kepulauan kecil mengatakan bahwa mereka tidak akan menyetujui kesepakatan yang merupakan "surat kematian" bagi negara-negara rentan yang paling terpukul oleh kenaikan permukaan air laut. "Kami tidak akan pergi diam-diam ke kuburan berair kami," kata John Silk, kepala delegasi Kepulauan Marshall.
Tekanan dari Arab Saudi
Sumber-sumber yang mengetahui diskusi-diskusi tersebut mengatakan bahwa Presiden COP28 Uni Emirat Arab Sultan al-Jaber menghadapi tekanan dari Arab Saudi untuk mencoret penyebutan bahan bakar fosil dari teks tersebut. Saudi merupakan pemimpin de facto dari kelompok produsen minyak OPEC di mana UEA menjadi anggotanya.
Pemerintah Arab Saudi tidak menanggapi permintaan komentar pada hari Selasa. Seorang negosiator COP28 untuk negara tersebut menolak untuk mengomentari teks tersebut pada Senin malam.
Dalam sebuah surat tanggal 6 Desember yang dilihat oleh Reuters, Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais mendesak para anggota untuk menolak kesepakatan COP28 yang menargetkan bahan bakar fosil.
Para negosiator dan pengamat dalam pembicaraan COP28 mengatakan bahwa meskipun Arab Saudi telah menjadi penentang terkuat, anggota OPEC dan OPEC+ lainnya, termasuk Iran, Irak, dan Rusia, telah menolak upaya-upaya untuk memasukkan penghentian penggunaan bahan bakar fosil ke dalam kesepakatan tersebut.
Kesepakatan di KTT Iklim PBB harus disahkan melalui konsensus di antara hampir 200 negara yang hadir. Selanjutnya, tergantung pada masing-masing negara untuk mewujudkan kesepakatan yang telah disepakati secara global, melalui kebijakan dan investasi nasional.
Bagi negara-negara penghasil minyak, kesepakatan global di COP28 untuk meninggalkan bahan bakar fosil dapat menandakan kesediaan politik dari negara-negara lain untuk mengurangi penggunaan produk yang menguntungkan yang menjadi tumpuan ekonomi penghasil bahan bakar.
"Kuwait bekerja sesuai dengan kebijakan yang didasarkan pada pelestarian sumber-sumber kekayaan minyak bumi dan eksploitasi serta pengembangannya secara optimal," Menteri Perminyakan Saad Al Barrak mengatakan pada Konferensi Energi Arab ke-12 di Doha, pada Senin (11/12).
Meskipun pertumbuhan energi terbarukan yang cepat, bahan bakar fosil masih menghasilkan sekitar 80% energi dunia. Tidak jelas apakah Cina, penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, mendukung rancangan tersebut.
Sumber-sumber yang mengetahui pertemuan para negosiator COP28 mengatakan bahwa Beijing telah menolak sebuah bagian dari teks yang mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca dunia harus mencapai puncaknya sebelum tahun 2025.
Cina telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbondioksida yang menyebabkan pemanasan iklim hingga mencapai puncaknya sebelum tahun 2030, meskipun para ahli memperkirakan bahwa target tersebut akan tercapai lebih awal.
Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav juga menolak berkomentar mengenai rancangan kesepakatan terbaru ini.
Komisioner iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, mengatakan bahwa rancangan kesepakatan tersebut "mengecewakan". Uni Eropa akan bernegosiasi lebih lanjut untuk mendapatkan teks yang lebih kuat. "Kami akan berbicara selama diperlukan," kata Hoekstra kepada para wartawan.