Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan tidak benar jika Pabrik Tesla di Shanghai menggunakan 100% baterai lithium ferophospat atau LFP untuk produksi mobil listrik di Pabrik Shanghai. Hal itu menanggapi ucapan manta Menteri Perdagangan sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong.
"Terakhir, terkait LFP. Tidak benar yang disebutkan itu kalau pabrik Tesla di Shanghai menggunakan 100% LFP untuk mobil listriknya," ujarnya dikutip dari akun Instagram @luhut.pandjaitan, Kamis (25/1).
Luhut mengatakan, pabrikan Tesla di Shanghai masih menggunakan baterai berbahan dasar nikel, yang disuplai oleh LG Korea Selatan.
Selain itu, Luhut juga mengungkapkan kelebihan baterailithiun berbasis nikel dibandingkan LFP. Menurut dia, baterai berbasis nikel bisa didaur ulang.
"Sedangkan baterai LFP sejauh ini masih belum bisa didaur ulang," ujarnya.
Namun, ia tidak memungkiri jika saat ini penggunaan LFP untuk memproduksi baterai kendaraan listrik mulai berkembang.
Untuk itu, Luhut meminta agar hilirisasi nikel digenjot dengan terukur untuk tetap dapat bersaing dalam jangka panjang. Apalagi Indonesia merupakan sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Luhut mengatakan, tidak menutup kemungkinan nikel ini makin kurang penggunaannya. Oleh karena itu, Indonesia perlu menggenjt hilirisasi yang terukur.
"Sekarang ini kalau kita lihat hilirisasi kita di katoda dan banyak lagi bagian daripada lithium battery kita sudah sangat maju, yang membuat ekspor kita tidak hanya bergantung lagi kepada ekspor raw materials-nya tadi," ujar Luhut.
Harga Nikel Turun?
Luhut juga memberi tanggapan pernyataan Thomas Lembong mengenai harga nikel yang mengalami penurunan. Luhut mengatakan, dalam melihat pergerakan harga nikel harus menggunakan data dengan rentang yang panjang.
“Anda perlu melihat data panjang 10 tahun. Kan siklus dari komoditi itu naik turun, entah itu itu batu bara nikel timah atau emas. Tapi kalau kita melihat selama 10 tahun terakhir ini, harga nikel dunia itu ya di kisaran US$ 15. 000 per ton,” kata Luhut, melalui Instagram pribadinya pada Rabu (24/1).
Luhut mengatakan, harga nikel masih berada di bawah harga saat ini pada 2014 hingga 2019 saat periode hilirisasi mulai dilakukan pemerintah, .
“Dulu hanya US$ 12.000 per ton. Jadi saya nggak ngerti kenapa Tom Lembong memberikan statement seperti ini,” ujarnya.
Menurut Luhut, Tom Lembong memberikan arahan dan fakta yang kurang sesuai dengan data di lapangan. Harga nikel tinggi terlalu tinggi itu sangat berbahaya.
"Kita belajar dari kobalt, 3 tahun lalu harganya begitu tinggi orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Itu salah satu pemicu lahirnya lithium ferro phosphate (LFP) itu,” ucap Luhut.