BRIN Ungkap Penyebab Sanitasi Air Minum RI Terendah Ketiga di ASEAN

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.
Warga membawa pulang pakaian setelah dicuci di Sungai Muara Kumpeh yang keruh, Kumpeh Ulu, Muarojambi, Jambi, Rabu (1/7/2020). Bank Dunia menyatakan Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara berkembang lainnya dalam hal penyediaan layanan dasar bagi penduduknya, seperti penyediaan air minum dan sanitasi.
13/3/2024, 17.28 WIB

Indonesia tercatat menjadi negara dengan kondisi air layak minum dan sanitasi terendah ketiga di ASEAN.  Indonesia hanya unggul di atas Laos dan Timor Leste.

Menurut data Environmental Performance Index 2022, kualitas sanitasi dan air minum Indonesia hanya mengumpulkan skor 28,5. Untuk kawasan ASEAN, angka ini hanya lebih baik dibandingkan Timor Leste dengan skor 26 dan Laos dengan skor 26,6.

“Memang ini menjadi hal yang rumit karena kita negara kepulauan,” kata Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mego Pinandito, dalam konferensi pers Road to 10th World Water Forum bertajuk “Riset dan Inovasi Solusi Krisis Air”, Rabu (13/3).

Dilihat dari kondisi geografisnya, sejumlah daerah di Indonesia memang memiliki sumber air yang luar biasa dan tidak terkontaminasi. Biasanya, sumber air tersebut berada di daerah perdesaan. Namun hal itu berbeda dengan di daerah perkotaan yang akses sanitasi dan air minum layaknya tidak bagus.

“Daerah perkotaan terkait indeks kualitas air yang mungkin agak berat karena tantanganya. Tapi kita memiliki desa yang luar biasa yang airnya. Seperti di Bali contohnya,” ucapnya.

Mego menjelaskan sumber air bersih di daerah perkotaan terbatas, namun kebutuhan tinggi karena penduduknya sangat padat. Menurutnya faktor ini tidak bisa menjadi perbandingan dengan negara-negara lain.

Mego mengatakan, temuan indeks tersebut perlu menjadi catatan pemerintah untuk memberikan akses air minum layak dan sanitasi di wilayah yang memiliki keterbatasan sumber air.

“Kita perlu melihat bahwa indeks itu menjadi cacatan yang harus kita kembangkan,” kata Mego.

Pengembang Kota Satelit Harus Perhatikan Sanitasi

Mego mengatakan, pengembangan kota-kota satelit baru yang padat penduduk harus memikirkan pembangunan sanitasi atau pengolahan limbah memadai agar tidak mencemari air tanah dan air baku. Untuk itu, sanitasi harus terpusat agar memudahkan proses pengelolaan dan tidak lagi terpisah, dimana satu rumah ada satu tangki septik.

"Pengembangan kota-kota satelit baru atau daerah pemukiman yang baru mestinya sistem untuk septic tank atau pengelolaan limbah juga dikumpulkan," ujarnya.

Ia mengatakan standar minimal jarak sumber air atau sumur dengan tangki septik adalah 10 meter. Bila jarak itu terlalu pendek dapat membuat sumur menjadi tidak higienis karena tercemar beragam bakteri dari tangki septik.

Mego mengatakan pengembangan jaringan pipa transmisi air baku juga harus terdistribusi merata ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dapat mengatasi eksploitasi air tanah dan menjawab tantangan krisis air di kawasan perkotaan.

"Kita tahu di kota-kota besar dengan penduduk padat membutuhkan dukungan dari sistem perpipaan atau PDAM yang besar, yang ini juga akan membutuhkan sumber air baku," kata Mego.

Menurut dia, sinkronisasi kebijakan pengelolaan air baku tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, tetapi juga multi sektor.

"Krisis air memaksa kita mengambil air tanah karena sistem perpipaan melalui PDAM masih kurang. Upaya-upaya itu (pembangunan sanitasi komunal dan pengembangan jaringan pipa) terus dikembangkan," ujar dia.

BPS Catat Akses Layanan Air Minum Masih Rendah

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, belum semua masyarakat bisa mengakses pelayanan dasar untuk kebutuhan sehari-harinya. BPS mengkategorikan pelayanan dasar menjadi tiga bagian, yakni layanan air minum, sanitasi dasar, dan fasilitas penyehatan dasar.

Di antara ketiga kategori itu, akses pada layanan air minum yang paling sedikit didapatkan masyarakat, yakni di bawah 50%. Pada 2022 proporsinya hanya 44,94%. 

Angka ini pun tumbuh tipis 1,13 poin persen dari 2021 yang sebesar 43,81%. Pada 2018 pun proporsinya 42,22%. Ini menjadi yang terendah selama lima tahun terakhir.

Layanan dasar lainnya, yakni fasilitas penyehatan dasar yang sebesar 79,33% pada 2022. Angka ini turun 0,26 poin persen dari 2021 yang sebesar 79,59%.

Sementara akses terendah pada kategori ini terjadi pada 2019 yang sebesar 76,07%. Terakhir, akses layanan sanitasi dasar dengan torehan 80,92% pada 2022. Angkanya konstan dari 2021 sekaligus menjadi yang tertinggi selama lima tahun terakhir.

Selama 2018-2022, akes layanan sanitasi dasar terendah jatuh pada 2018 dengan proporsi 74,58%. Setiap tahunnya kategori ini mengalami peningkatan.

Reporter: Rena Laila Wuri