Badan Usaha Bakal Dapat Insentif Jika Mitigasi Iklim dan Turunkan Emisi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) yang bertujuan mempermudah investasi hijau di Indonesia sudah disetujui. Salah satu poin yang disepakati adalah soal insentif melalui nilai ekonomi karbon untuk badan usaha yang melakukan mitigasi iklim dan menurunkan emisi karbon dioksida (CO2).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan RUU EBET akan mendukung dan mempermudah ekosistem EBET di Indonesia.
"Investasi seperti industri hidrogen ini kan menunggu (aturan) mengenai investasi hijau. Mereka menunggu (RUU EBET)," ujar Eniya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (17/12).
Eniya mengatakan, pasal yang membahas tentang insentif untuk badan usaha melalui nilai ekonomi karbon akan mendorong perusahaan dan industri untuk memanfaatkan energi dari pembangkit EBT untuk operasional perusahaan. Salah satu contohnya, perusahaan bisa memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan melakukan efisiensi energi, sehingga menurunkan emisi karbon.
"Itu semua akan mendapatkan model insentifnya melalui nilai ekonomi karbon," kata Eniya.
Namun, pembahasan RUU EBET saat ini mandeg. Kementerian ESDM belum mendapat undangan dari Komisi XII DPR RI untuk membahas lebih lanjut poin-poin dalam RUU EBET.
Target DPR Sahkan RUU EBET Akhir Tahun Ini
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto menargetkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) akan disahkan akhir 2024. Beleid tersebut dinilai dapat segera ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) karena pembahasan mengenai daftar inventarisasi masalah (DIM) sudah tuntas dibahas pada periode DPR RI 2019-2024.
"RUU EBET itu carry over kok, tinggal ketok (palu) saja istilahnya," ujar Sugeng saat ditemui di sela acara HUT Thorcon Power, di Jakarta, Rabu (30/10).
Sebagaimana diketahui, carry over berarti pembahasan RUU tidak dimulai dari awal atau hanya meneruskan draf dari kepengurusan DPR RI periode 2019-2024.
Sugeng mengatakan, pembahasan RUU EBET oleh DPR RI periode 2024-2029 tidak panjang karena hanya menyisakan sedikit DIM. Salah satu DIM ini mengenai power wheeling. DPR akan membentuk panitia kerja (panja) baru untuk membahas poin tersebut.
"Kalau kemarin ada enam ratusan daftar isian masalah (DIM). Kalau saat ini tinggal sedikit lagi," ujarnya.
Skema Power Wheeling
Sugeng mengatakan, skema power wheeling atau sewa jaringan bersama merupakan jalan tengah agar semua pihak dapat berpartisipasi membangun energi di Indonesia dan tidak dimonopoli oleh PT PLN. Skema ini diperlukan untuk mendorong terciptanya bauran energi terbarukan di Indonesia yang tidak mampu dibangun oleh PLN.
"PLN tidak mampu untuk membangun pembangkit-pembangkit baru sendirian, apalagi pembangkit-pembangkit energi baru terbarukan," ujar Sugeng.
Sugeng menyebut, peran swasta sangat diperlukan untuk menutupi ketidakmampuan PLN dalam membangun pembangkit EBT di Indonesia. PLN juga membutuhkan anggaran dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk membangun jaringan listrik energi hijau.