Center of Economic and Law Studies (Celios) menerbitkan survei dan laporan terbarunya berjudul A Just Economy that Balancing Planet and Growth : Survey on Public Perception of Indonesia's Restorative Economy. Dalam survei tersebut, 87,8 persen setuju bahwa ekonomi restoratif dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan.
Survei dilakukan pada 1.126 responden dari 31 provinsi. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan sebanyak 59% responden sangat setuju ekonomi berkelanjutan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dalam 20 tahun kedepan.
Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa setiap US$ 1 yang di investasikan dalam pemulihan lahan terdegradasi, dapat menghasilkan manfaat ekonnomi antara US$ 7 sampai US$ 30 secara global. Studi sebelumnya oleh Celios menunjukan transisi menuju ekonomi hijau diperkirakan akan berdampak hingga Rp 4.376 triliun (US$273 miliar) pada output ekonomi nasional.
"Transisi ini juga diprediksi dapat memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar IDR 2.943 triliun (US$183,9 miliar) dalam 10 tahun ke depan, atau setara dengan 14,3% dari PDB Indonesia pada 2024," tulis Bhima dalam laporan tersebut, Senin (23/9).
Bhima mengatakan, narasi politik saat ini untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dapat ditentang melalui survei ini. Pasalnya, ekonomi restoratif dapat memberikan opsi pertumbuhan yang lebih menarik daripada ekonomi bisnis seperti biasa.
"Para responden juga berpikir bahwa ekonomi restoratif akan membantu mengurangi kesenjangan sosial, reboisasi, atau mengelola emisi karbon," kata Bhima.
Adapun ekonomi restoratif berbasis pada peningkatan pendapatan negara tanpa dengan merusak lingkungan penting dilakukan di tengah dampak krisis iklim yang terus bermunculan seperti bencana alam, gagal panen, hingga mengancam nyawa manusia.
Bhima menjelaskan, mendorong pertumbuhan ekonomi bila tidak disandingkan dengan keberlangsungan lingkungan dapat berdampak negatif terhadap alam dan juga masyarakat. Ia mencontohkan, ketika era Presiden Soeharto peningkatan ekonomi didorong melalui pemangkasan hutan atau deforestasi secara berlebihan untuk beberapa industri kelapa sawit menyebabkan hancurnya hutan di Indonesia.
Sementara itu era mineral seperti batubara dan nikel yang muncul setelah reformasi sampai dengan saat ini dikhawatirkan akan memicu deforestasi secara besar-besaran di Indonesia timur.
Untuk itu, ia menyarankan agar momentum perubahan presiden pada 2024 dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto harus menjadi momentum perubahan narasi ekonomi di Indonesia.
"Ekonomi restoratif bukanlah alternatif, melainkan konsep yang harus dipilih oleh pemerintah, karena menawarkan peluang kerja jangka panjang bagi generasi muda dan pertumbuhan yang lebih inklusif di daerah pedesaan," tulisnya.