Devisa Tinggi, Kopi hingga Kakao Bisa Jadi Komoditas Andalan Ekonomi Restoratif

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom.
Petani menunjukkan kopi petik merah hasil panen di Desa Taji, Jabung, Malang, Jawa Timur, Rabu (29/5/2024).
10/10/2024, 17.31 WIB

Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai beberapa komoditas Indonesia yang masuk dalam konsep ekonomi restoratif memiliki peluang besar untuk dapat mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Komoditas tersebut di antaranya  kopi, kakao, hingga tengkawang.

 Ekonomi restoratif merupakan model ekonomi yang memperhatikan ambang batas lingkungan dalam kegiatan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan dasar seluruh individu. Tujuanya, agar semua bisa berkembang dan mencapai kesejahteraan.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan tiga komoditas tersebut sangat diminati pasar internasional. Nilai tambah dari ekspornya bisa bantu stabilkan nilai tukar rupiah, diversifikasi risiko komoditas ekstraktif, hingga mendorong cadangan devisa lebih tinggi.

Bhima mengatakan, ekonomi restoratif bisa menjadi opsi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas. Ekonomi restoratif menjawab keterlibatan komunitas masyarakat di sekitar hutan dan pesisir dalam menciptakan nilai tambah yang selaras dengan kelestarian lingkungan.

"Studi di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah yang memiliki konsep pembangunan ekonomi restoratif berhasil menciptakan lapangan kerja lokal," kata Bhima dalam peluncuran buku Ekonomi Era Krisis Iklim, di Jakarta, Kamis (10/10).

Selain itu, ekonomi restoratif akan menurunkan ketimpangan antar wilayah melalui pengembangan potensi ekonomi lokal. Ini akan berbeda dengan ekonomi ekstraktif dimana konsentrasi kekayaan daerah makin tersedot ke jawa.

Ekonomi Ekstraktif

Bhima mengatakan, saat ini Indonesia lebih mengarah pada ekonomi ekstraktif yang berpatokan terhadap barang tambang dengan tingkat volatilitas yang tinggi. Hal ini tidak akan membuat pendapatan Indonesia tetap tumbuh.

"Ekstraktif ini sebenarnya sangat destruktif dari hal volatilitas yang terlalu cepat. Alam rusak, volatilitas cepat, harga tidak ditentukan dikontrol oleh pemerintah, maka ini lebih banyak sebenarnya rugi," ujarnya.

Dia mengatakan, pergerakan harga komoditas tambang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah Indonesia. Ekonomi ekstraktif juga membuat kesehatan masyarakat, khususnya di daerah pertambangan, menjadi turun.

Bhima menyebut, naiknya pendapatan daerah yang memiliki tambang tidak membuat masyarakat di kawasan tersebut dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.

.

Reporter: Djati Waluyo