Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi  rata-rata suhu udara di Indonesia mengalami peningkatan 0,3 hingga 0,6 °C pada 2025. Kenaikan suhu tersebut terutama terjadi pada Mei hingga Juli.

"Kenaikan ini memerlukan perhatian khusus di wilayah Sumatera Selatan, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dikutip dari rilis Pandangan Iklim 2025 atau Climate Outlook 2025, Selasa (5/111). Laporan ini dapat dijadikan acuan oleh para stakeholder untuk mengambil kebijakan dan perencanaan pembangunan pada sektor terdampak kondisi iklim.

Dwikorita mengatakan kondisi La Nina lemah diprediksi akan berlanjut hingga awal 2025. Berdasarkan pemantauan, hingga akhir Oktober 2024, suhu permukaan laut di Samudera Pasifik menunjukkan kecenderungan yang terus mendingin.

"Ini menunjukkan telah aktifnya gangguan iklim La Nina lemah," kata Dwikorita.

Dengan demikian, menurut Dwikorita secara umum bahwa sepanjang tahun 2025 tidak akan terjadi anomali iklim di Indonesia. Namun demikian, terdapat 15% wilayah Indonesia yang diprediksi dapat mengalami hujan tahunan di atas normal yaitu meliputi sebagian Aceh, sebagian kecil Sumatera Utara, Sumatera Barat bagian selatan, sebagian kecil Riau, sebagian kecil Kalimantan Timur bagian timur, sebagian kecil Sulawesi Barat bagian utara, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Gorontalo, sebagian kecil Sulawesi Utara, sebagian kecil Sulawesi Selatan bagian selatan, sebagian kecil Sulawesi Tenggara, sebagian kecil Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil Kepulauan Maluku, dan sebagian Papua bagian tengah.

"Satu persen wilayah, termasuk sebagian kecil Sumatera Selatan dan NTT, diperkirakan mengalami curah hujan di bawah normal, memerlukan kewaspadaan terhadap kekeringan dan dampaknya," ujarnya.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menjelaskan rekomendasi strategis BMKG untuk menghadapi kondisi iklim. Ia menekankan pentingnya langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi potensi perubahan iklim ini.

Ardhasena mengatakan langkah tersebut adalah optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir, seperti penyiapan kapasitas pada sistem drainase sistem peresapan dan tampungan air agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir.

"Jadi poinnya, di saat musim hujan, perlu dioptimalkan drainase ya dan juga tandon-tandon tanggungan air, menabung air, yang disiapkan nantinya untuk dapat dimanfaatkan di saat musim kemarau selanjutnya," ujarnya.

BMKG juga menggarisbawahi pentingnya penyesuaian pola tanam bagi petani di wilayah terdampak hujan di bawah normal. Dengan upaya dukungan intensifikasi seperti irigasi dan upaya pendukung lainnya, wilayah sentra produksi pangan tersebut masih berpotensi menghasilkan produktivitas tanaman pangan yang baik. Ini terutama ditekankan tadi untuk wilayah yang mengalami curah hujan bulanan di bawah normal.

Terakhir, meskipun prediksi curah hujan cenderung di atas normal pada Juli - September 2025, risiko kekeringan dan kebakaran hutan tetap harus diperhatikan pada musim kemarau. Kewaspadaan ini tetap diperlukan mengingat data catatan bencana menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terdapat kejadian kebakaran hutan dan lahan. Kewaspadaan juga diperlukan untuk antisipasi suhu udara yang mengalami kenaikan pada Mei - Juli 2025.