Celios Sebut Perdagangan Karbon Solusi Palsu Atasi Emisi, Ini Alasannya

123RF.com/Elnur Amikishiyev
Perdagangan karbon
13/11/2024, 16.17 WIB

Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai perdagangan karbon yang digencarkan pemerintah Indonesia dan dunia hanya akan memberikan solusi palsu dalam mencapai netralitas karbon atau net zero emission (NZE).

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan mekanisme yang ditawarkan dalam perdagangan karbon merupakan kesalahan logika. Dengan perdagangan karbon, industri ekstraktif seperti minyak dan gas bumi atau batubara, dapat menyatakan netral karbon meskipun menghasilkan emisi yang besar. Caranya yaitu dengan menyalurkan dana ke tempat lain yang dianggap bisa menekan karbon, seperti rehabilitasi lahan.

 "Ibaratnya saya bisa terus nyampah, tapi juga ngebayar orang lain untuk jaga alam, jaga hutannya," ujarnya  dalam diskusi publik, di Jakarta, Rabu (13/11).

Padahal, emisi karbon yang dihasilkan industri ekstraktif bisa bertahan dalam jangka waktu lama di atmosfer.  Sementara hutan, yang diandalkan untuk klaim netralitas karbon, menangkap emisi yang berbeda.

Bahaya Penangkapan Karbon

Selain itu, Bhima mengatakan, perdagangan karbon juga memasukkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage (CCS). Padahal teknologi penangkapan karbon lebih mahal dibandingkan membangun pembangkit energi baru terbarukan.

Berdasarkan hasil perhitungan Celios, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan CCUS akan membutuhkan investasi lebih dari Rp 30,2 juta per kilowatt hour (KWh) pada 2020 dan lebih dari Rp 22 juta /KWh pada 2050. Nilai investasi tersebut jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan investasi energi terbarukan seperti PLTS skala utilitas maupun industri yang hanya membutuhkan Rp 6 juta/KWh pada tahun 2050.

"Bukti CCUS secara keekonomian tidak layak," ujarnya.

Selain itu, dia mengatakan, penggunaan CCS/CCUS juga dapat membahayakan masyarakat akibat potensi kebocoran pipa. Bhima mencontohkan kebocoran pipa gas CCS di Amerika setidaknya menyebabkan 40 orang dilarikan ke rumah sakit. Posisi Indonesia yang terletak di cincin api dunia atau ring of fire juga memperbesar risiko kebocoran gas karena rawan gempa.

"Jadi kalau karbonnya ditaruh di bawah sini, ekstra mahal untuk menjaga biar dia nggak bocor, ini siapa yang menanggungnya," ucapnya.

Sebaiknya Fokus Tagih Utang Iklim

Bhima mengatakan pemerintah Indonesia seharusnya lebih fokus menagih utang iklim ke negara maju dibandingkan mempromosikan perdagangan karbon. Bhima mengatakan, negara maju telah menggunakan batu bara dan energi fosil jauh lebih lama dari Indonesia.

"Solusinya bukan negara berkembang ngejual hutannya melalui mekanisme karbon. Tuntut negara-negara industri, negara-negara maju, G7 itu, terutama negara-negara utara, untuk bayar dulu utang iklimnya," ujarnya.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan kesepakatan Paris pada 2015, negara maju perlu membantu negara berkembang dalam mencapai target iklim dengan nominal setidaknya mencapai US$ 5 triliun setiap tahunnya.

Bhima menyebut, negara maju seakan enggan untuk membantu negara berkembang dalam mencapai target iklim. Pasalnya, bukanya mengeluarkan anggaran yang telah ditetapkan, negara maju malah membentuk kerjasama dengan negara berkembang melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Menurutnya, JETP bukanlah solusi yang diberikan negara maju kepada negara berkembang seperti Indonesia, karena di dalam skema tersebut yang di klaim untuk membantu memiliki komposisi utang yang cukup besar dan memasukan perdagangan karbon.

"Hibahnya kecil banget. Jadi, negara maju gak niat memang membantu negara berkembang," ucapnya.

Reporter: Djati Waluyo