31 Juta Relawan WCD Indonesia Kumpulkan 58 Ribu Ton Sampah

Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas
Persiapan gerakan World Cleanup Day Indonesia 2025 di Kawasan Car Free Day Bendungan Hilir, Jakarta, Minggu (21/9).
21/9/2025, 12.19 WIB

Relawan World Cleanup Day atau WCD Indonesia mengumpulkan lebih dari 58 ribu ton sampah sejak 2018. Gerakan ini dilakukan oleh 31 juta relawan.

Sepanjang 2018 – 2024, gerakan WCD Indonesia mengumpulkan 57.684 ton sampah. Jika dihitung dengan tahun ini, maka mencapai 58.784 ton sampah.

“Sejak awal 2025, terkumpul 1.100 ton selama 15 -21 September,” kata Ketua World Cleanup Day Indonesia, Andy Bahari, saat ditemui usai World Cleanup Day di Jakarta, Minggu (21/9). Jumlahnya masih bisa bertambah hingga akhir tahun.

Sebanyak 31 juta relawan yang berpartisipasi terdiri dari tiga ribu lebih komunitas, 300 perusahaan, 100 universitas, serta 996 ribu murid dan 3.147 laporan kegiatan bersih-bersih di sekolah.

Sampah yang terkumpul akan dikelola secara terpadu oleh Waste4Change. Pengelolaan terpadu bermaksud menghasilkan sesedikit mungkin sampah yang dialihkan ke tempat pemrosesan akhir (TPA).

Jumlah relawan seluruh Indonesia yang telah bergabung mencapai 900 ribu. AB, sapaan akrab Andy, menargetkan jumlahnya mencapai tiga juta tahun ini.

AB mengatakan, aksi World Cleanup Day telah secara resmi diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Tanggal 20 September ditetapkan sebagai perayaannya. 

“Jadi setiap tahun, kami akan memperingati World Cleanup Day,” tambah AB.

Selain itu, World Cleanup Day Indonesia juga aktif dalam gerakan membersihkan sungai, membersihkan laut, melakukan edukasi ke sekolah, atau berpartisipasi dalam hari perayaan lingkungan lainnya. 

Tantangan Kelola Sampah di Indonesia

AB menilai keterlibatan pentahelix stakeholder atau lima sektor pemangku kepentingan yakni pemerintah, media massa, komunitas, institusi pendidikan, dan perusahaan penting untuk mendorong gerakan Indonesia bersih.

Hal serupa disampaikan Project Manager Waste4Change Nur Rakhmah Latifah atau Lety. “Pendidikan sejak dini terkait pengelolaan sampah itu sangat krusial. Negara besar seperti Jepang dan Korea Selatan, memulai pendidikan peduli lingkungan sejak dini,” kata dia.

Menurut Lety, perbedaan karakteristik geografis Indonesia dengan dua negara tersebut, merupakan salah satu hambatan budaya peduli lingkungan ini tumbuh. 

“Jepang dan Korea cenderung terpusat, memang disitulah penduduk-penduduk mereka bermukim. Jadi mungkin penyebaran informasi dan pendidikan tentang peduli lingkungan cenderung lebih mudah,” kata Lety.

Hambatan lainnya, infrastruktur pengelolaan sampah di Indonesia belum cukup mendukung. Lety mengakui ambisi pemerintah untuk menekan jumlah sampah yang masuk ke TPA, namun untuk sistem dan infrastruktur belum cukup matang.

Selain institusi pendidikan dan pemerintahan, media massa mengambil peran dalam pentahelix stakeholder. Communication Strategist Katadata Green Carolus Bregas Pranoto menyebut media massa bukan hanya sarana edukasi.

“Media massa juga menjadi tempat bagi komunitas, pemerintah dan waste management untuk bisa mengangkat isu-isu pengolahan sampah di Indonesia,” kata Bregas. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas