Negara Kepulauan yang Dilanda Bencana Minta Dunia Bertindak di COP30
Jamaika bergabung dengan negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara miskin lainnya dalam perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) COP30 di Brasil, pada Senin (17/11). Mereka mendesak seluruh dunia agar berhenti bicara dan mulai bertindak karena nasib penduduk pulau-pulau kecil sedang dipertaruhkan.
Negara-negara yang rentan itu mengatakan, rencana iklim dunia saat ini tidak cukup kuat untuk menjaga pemanasan di bawah 1,5 derajat Celcius seperti ditetapkan oleh Perjanjian Paris 2015. Mereka juga menyerukan agar negara-negara kaya berbuat lebih banyak secara finansial untuk membantu negara-negara miskin mengatasi pemanasan.
"Badai Melissa mengubah kehidupan setiap warga Jamaika dalam waktu kurang dari 24 jam," kata Matthew Samuda, Menteri Pertumbuhan Ekonomi Jamaika, seperti dikutip AP News, Senin (17/11).
Badai kategori 5 yang melanda negara itu tiga minggu lalu menyebabkan kerusakan hampir US$ 10 miliar (Rp 167,6 triliun, kurs Rp 16.760/US$) dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi. Samuda menyebut bencana itu sebagai bukti fase baru perubahan iklim.
"Kami tidak menciptakan krisis ini, tetapi kami menolak untuk menjadi korban. Kami menyerukan kepada komunitas global, terutama negara-negara penghasil emisi besar, untuk menghormati komitmen mereka dan menjaga ambang batas 1,5 derajat bagi Jamaika. Ini adalah upaya untuk bertahan hidup. Ini tentang rakyat kami dan hak mereka atas masa depan yang aman dan sejahtera."
Armando Rodriguez Batista, Menteri Lingkungan Hidup dan Sains Kuba, mengatakan negaranya terendam banjir akibat Badai Melissa.
"Besok sudah terlambat untuk melakukan apa yang harus kita lakukan sejak lama," ujarnya.
Perundingan Iklim Berjalan Lambat
Negara-negara lain menegaskan kembali pentingnya meningkatkan upaya pengurangan emisi, menyebutnya sebagai "kewajiban moral" dan mengatakan kerusakan iklim adalah realitas sehari-hari mereka.
"Saya duduk di atap rumah sepanjang malam, memandangi tetangga, memikirkan apakah air akan menelan kita semua," kata Menteri Lingkungan Hidup Rumania, Diana-Anda Buzoianu, saat membacakan kata-kata seorang korban banjir tahun ini di negaranya.
"Janji saja tidak akan mampu menahan kenaikan permukaan laut," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Seychelles, Flavien Philomel Joubert.
Jaksa Agung Tuvalu, Laingane Italeli Talia, mengatakan putusan Mahkamah Internasional yang menyatakan perubahan iklim adalah masalah eksistensial planet yang harus diatasi adalah "daya ungkit" yang akan digunakan negara-negara kepulauan kecil untuk mempercepat upaya penanggulangan iklim di COP30.
"Putusan itu menunjukkan bahwa target 1,5 derajat C bukan sekadar aspirasi politik, melainkan kewajiban hukum yang didasari oleh ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Tuvalu, Maina Vakafua Talia.
"Kita menyaksikan target 1,5 menghilang di depan mata kita," kata Talia. Ia mengatakan bagi pulau-pulau kecil, target itu adalah batas antara kelangsungan hidup dan kerugian mereka.
Namun, rencana iklim yang lebih kuat dan penyelamatan 1,5 derajat C penting bagi seluruh dunia, bukan hanya bagi pulau-pulau kecil.
COP30, yang diperkuat lebih ketat setelah dua demonstrasi mengganggu lokasi utama di minggu pertama, memulai minggu keduanya. Para menteri luar negeri dan menteri-menteri lainnya menggantikan para negosiator tingkat rendah yang menangani negosiasi sebelumnya.
Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell meminta mereka memanfaatkan kekuasaan dan keleluasaan mereka untuk membuat keputusan politik yang sulit.
“Semangatnya ada, tetapi kecepatannya belum. Laju perubahan ekonomi riil belum diimbangi oleh laju kemajuan di ruang-ruang negosiasi ini," ujar Stiell, seperti dikutip AP News.
Pembicara lain juga mendesak tindakan yang lebih cepat. “Waktu untuk janji-janji sudah berakhir,” kata Wakil Presiden Brasil, Geraldo Alckmin.
Menurutnya, setiap tambahan sepersekian derajat pemanasan global berarti nyawa yang terancam, kesenjangan yang lebih besar, dan kerugian yang lebih besar bagi mereka yang paling sedikit berkontribusi terhadap masalah ini.
Presiden Majelis Umum PBB, Annalena Baerbock, mengatakan bencana-bencana baru-baru ini menunjukkan betapa banyak yang perlu dilakukan. “Krisis iklim tak henti-hentinya. Kita menyaksikan ini ketika Badai Melissa menerjang Karibia dua minggu lalu. Kita menyaksikannya lagi minggu lalu di Filipina ... hampir seperti topan beruntun,” ujarnya.