Pemerintah Bantah Regulasi Penyebab Proyek EBT Sulit Dapat Pendanaan

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Sebuah kendaraan alat berat beroperasi di area pembangunan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Selasa (28/11). Pembangunan PLTB dengan kapasitas 75 megawatt tersebut akan membantu pasokan listrik di Wilayah Sulselbar dan ditargetkan rampung akhir tahun 2017 dengan kekuatan putaran 30 buah turbin kincir angin.
14/2/2019, 18.47 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah pernyataan bahwa regulasi menghambat pengembangan proyek energi terbarukan. Hal ini menanggapi pernyataan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) yang menyebutkan regulasi menyebabkan proyek ene sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan ada hal lain yang membuat perbankan sulit memberikan modal untuk proyek energi terbarukan. Hasil studi kelayakan (feasibility study) yang dilakukan perusahaan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP) menunjukkan banyak risiko finansial. 

"Dari proposal mereka misalnya studi kelayakan, masih mengandung risiko, masih banyak yang belum bisa diminimalisir," kata dia, kepada Katadata.co.id, Kamis (14/2). (Baca: Tak Penuhi Pendanaan Hingga Juni, 25 Proyek EBT Terancam Disetop)

Harris mencontohkan, dalam studi kelayakan saluran penghantar (waterway) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) dibangun secara terbuka. Ini berisiko adanya sampah atau tanah, yang menyebabkan produksi listrik menjadi terganggu. "Kami sudah melakukan analisa proposal yang dilakukan oleh ahli, ditemukan seperti itu," kata dia.

Saat ini ada 25 proyek pembangkit energi terbarukan yang masuk kedalam 70 perjanjian jual beli listrik (Power Purchasing Agreement/PPA) dengan total kapasitas 1.214 Megawatt (MW). Kontrak ini telah ditandatangani PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2017.

Sebelumnya, METI mengungkapkan ada empat poin utama yang menyebabkan proyek pembangkit energi terbarukan sulit mendapatkan pendanaan dari perbankan. Keempat poin ini bisa menghambat pengembangan energi terbarukan. (Baca: 4 Penyebab Pelaku Usaha Energi Terbarukan Sulit Dapat Pendanaan)

Poin pertama adalah skema Build Own Operate Transfer (BOOT) yang diterapkan dalam proyek pembangkit energi terbarukan. Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengatur skema BOOT dalam proyek pembangkit. Dalam skema ini aset pembangkit listrik yang dibangun pengembang swasta menjadi milik PLN setelah kontraknya berakhir.

Kedua, perbankan tidak bisa mengalihkan kontrak pembangunan pembangkit kepada IPP yang lebih mampu, apabila proyek tersebut tidak berhasil. Ketiga, adanya klausul dalam perjanjian jual beli listrik (Power Purchasing Agreement/PPA) antara IPP dan PLN, yang menyebutkan saham dalam pembangunan konstruksi pembangkit tidak bisa dijaminkan. Keempat, IPP tidak bisa mengajukan perusahaannya sebagai jaminan.

Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar menjelaskan bahwa sulitnya mendapatkan pendanaan terjadi pada pengembang kecil, yakni pengembang pembangkit dibawah 10 megawatt (MW). "Misalnya saya pinjam Rp 100 miliar, saya harus memberi jaminan Rp 120 miliar. Itu menjadi sulit bagi pengembang kecil," kata dia, kepada Katadata.co.id, Senin (12/2).

(Baca: PLN Tambah Pembangkit Energi Terbarukan 736 MW Tahun Ini)