Kolaborasi Jadi Kunci Transisi Energi Terbarukan

123rf.com
Penulis: Alfons Yoshio - Katadata Insight Center
27/8/2020, 20.21 WIB

Pemerintah lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksi bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 23% pada 2025. Target ini dicanangkan sebagai upaya transformasi dari energi fosil ke EBT.

Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Sampe L Purba menjelaskan bahwa pengembangan dan pemanfaatan EBT menjadi penting dalam rangka transisi energi.

"Kita bertekad untuk memenuhi target bauran energi dan konservasi energi. Yang jadi hasil utamanya adalah pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi gas rumah kaca," ujarnya dalam Webinar Katadata, SAFE Forum 2020: The Transition Toward Sustainable Energy, Rabu (26/8).

Namun menurut Sampe, kondisi pengembangan EBT saat ini masih belum ideal karena pemanfaatan energy belum optimal dan ketergantungan pada energy fosil masih tinggi.

Dia lantas menekankan pentingnya harga energi yang terjangkau dan distribusi listrik yang merata untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. Dari situ nantinya akan muncul kebutuhan energi baru yang akan memacu penambahan kapasitas pembangkit EBT.

Sampai tahun 2019, realisasi pengembangan PLT EBT baru sekitar 10.300 MW. Kalau mau dilihat rata-rata, perkembangannya juga 'hanya' 500 MW/tahun. Tanpa ada perubahan besar dalam lima tahun ke depan hingga 2025 hanya akan ada tambahan 2.500 MW. Artinya akan ada gap sebesar 9.000 MW-10.000 MW untuk mencapai target bauran energi 23 persen.

Potensi dan Realisasi Pembangkit EBT
Sumber EBTRealisasi (MW)Total Potensi(GW)
Samudera017.9
Panas Bumi2130.723.9
Bioenergi1895.732.6
Bayu (Angin)154.360.6
Hidro6078.475
Surya (Matahari)150.2207.8
Sumber: Kementerian ESDM

Program Pengembangan EBT

Selain lewat regulasi, untuk menarik investasi maupun kolaborasi dengan swasta, Hariyanto berpendapat perlu dibuat pasar baru di luar dari yang sudah dicanangkan PLN lewat RUPTL sebagai solusi instan.

 Selain itu, disampaikan juga beberapa strategi lainnya mulai dari pengembangan model resource based renewable energy development untuk EBT skala besar; pengembangan REBED (RE based economic development); pengembangan dan modernisasi sistem jaringan infrastruktur listrik nasional; sampai pemanfaatan lebih lanjut biofuel dan greenfuel.

Sementara Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang melihat ada peluang dari proyek-proyek pengembang skala kecil yang sudah mendapat persetujuan namun terkendala financial closure.

Pemerintah bisa turun tangan dan membereskan permasalahan yang selama ini membuat proyek tersebut menjadi tidak feasible.

Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga turut andil dalam upaya transisi energi ini. “Pengembangan EBT bukan semata pemenuhan target pemerintah. Ini dilakukan sebagai tanggung jawab PLN untuk generasi ke depan,” ujar Direktur Mega Project PLN Ikhsan Asaad masih dalam sesi webinar yang sama.

PLN setidaknya sudah menjalankan empat program dalam upaya transisi energi. Pertama mereka menerapkan co-firing batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). “Kita sudah mulai menggunakan biomassa untuk menggantikan batu bara,” terang Ikhsan.

Total uji coba sudah dilakukan di 52 pembangkit dengan porsi campuran biomassa antara 1-5 persen. Salah satu pembangkit yang sudah beroperasi menerapkan sistem tersebut, yakni PLTU Paiton yang berkapasitas 2x400 megawatt (MW).

Program selanjutnya adalah mengganti 5.200 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik berbasis EBT.  "Kami juga sesuaikan dengan kondisi dan resources yang ada di sana. Misalkan daerah Indonesia bagian timur intensitas matahari cukup tinggi ya, kami akan ganti dengan PLTS dan baterai," ujar Ikhsan.

PLN juga tengah mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atau PLTS apung di waduk-waduk dan danau. Pada pembangunan PLTS skala besar hal ini bisa berdampak ke tarif yang bisa turun karena tidak perlu akuisisi lahan, “Saya kira harganya bisa sampai 3-4 sen/kWh.”

Terakhir, lewat kerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, PLN tengah menjajaki kemungkinan menggunakan bendungan-bendungan yang ada untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).

Bahu-Membahu Antar Stakeholder

Melihat besarnya tambahan pengembangan pembangkit listrik dari EBT yang diperlukan, tentu menjadi kurang ideal kalau PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus memenuhi sendiri. Pembangkit swasta bisa mengambil peran.

“Memang peran swasta di sini perlu ditingkatkan lagi untuk pencapaian investasi. Karena project cost-nya kan tinggi. Jadi perlu bahu-membahu agar project cost dari capital cost ini bisa terealisasi di tahun-tahun ke depan,” Arthur di kesempatan yang sama.

Dia menambahkan semakin banyak investor yang mulai melirik untuk beralih mengadakan pembangkit energi terbarukan. Penurunan biaya dan regulasi yang semakin mendukung dalam lima tahun terakhir jadi pemicunya. “Di satu sisi biaya mulai turun, potensi EBTKE di Indonesia besar, dan ada appetite dari proyek sponsor kami untuk rebalancing,” ujar Arthur.

Pemerintah pun tengah menyiapkan regulasi khusus untuk memacu perkembangan transisi energi. Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Hariyanto memastikan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembelian tenaga listrik EBT dalam tahap finalisasi dan akan diluncurkan dalam waktu dekat.

Hariyanto menjabarkan kalau nantinya akan diberlakukan skema feed-in tariff (FiT) sampai kapasitas tertentu, kemudian staging tariff, dan penentuan harga berdasar faktor lokasi.

Selain itu akan disiapkan juga sejumlah insentif dan kompensasi untuk beragam jenis pembangkit EBT. Salah satu contohnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP), untuk eksplorasi nantinya akan ada kompensasi khusus agar biayanya bisa ditekan dan jadi kompetitif.

"Kompensasi atau insentif ini nanti di Perpres juga berlaku untuk pembangkit EBT lain seperti PLTBm, PLTB maupun PLTS," ujarnya lagi.

Berbagai bentuk kompensasi dan insentif ini diharapkan bisa menjadi stimulus untuk menarik investasi, dalam rangka menjadikan pembangkit EBT menjadi opsi yang lebih menguntungkan dibanding pembangkit berbahan bakar fosil.

(Katadata Insight Center juga membuat white paper ‘Kolaborasi Menuju Transisi Energi Berkelanjutan’ yang bisa diunggah di sini dan booklet yang bisa diunggah di sini)