Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau RUU EBT masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Masyarakat Energi Baru Terbarukan (METI) mengusulkan adanya badan pengelola yang bertanggung jawab mengatur sumber energi tersebut secara independen.
Ketua METI Surya Darma mengatakan badan tersebut dapat bertugas menyusun strategi implementasi energi terbarukan untuk mencapai kebutuhan energi nasional. "Ini sama sekali belum diatur dalam draft UU EBT. Ini perlu dibentuk," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi VII, Kamis (17/9).
Dalam menjalankan tugasnya, badan pengelola energi terbarukan atau BPET diharapkan dapat berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait, badan usaha milik negara (BUMN), BUMD, BUMDes, koperasi, swasta, maupun perorangan. Badan ini juga mengelola dana, menetapkan alokasi pemanfaatan, serta mempromosikan investasi energi terbarukan.
Pembentukan BPET tidak perlu lembaga atau badan negara baru. Surya mengusulkan agar pemerintah menggabungkan dua lembaga yang sebelumnya pernah ada, yakni Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
BPET, menurut dia, dapat menyelesaikanmasalah yang selama ini menjadi hambatan dalam pengembangan energi terbarukan. Misalnya, persoalan harga jual listrik energi terbarukan yang selama ini menjadi tantangan. "Bagaimana mekanisme dan harganya itu akan ditetapkan BPET," ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Wiluyo Kusdwihatmo juga mendorong perlunya pembentukan BPET. Pasalnya, badan ini mempunyai ruang lingkup dan tanggung jawab guna memastikan efektifitas pengendalian pelaksanaan kegiatan usaha dan pemanfaatan EBT.
Termasuk di dalamnya adalah perencanaan dan koordinasi dengan para stakeholder (pemangku kepentingan), mengelola reverse auction (pelelangan) pengadaan strategis berskala besar, dan mengimplementasikan stanar portofolio energi terbarukan. "Dan melakukan pembinaan dan pengawasan kerja sama dengan pemerintah pusat maupun daerah," ujarnya.
Selain itu, tugas BPET juga dapat mengelola proses EBT untuk menggantikan energi fosil secara bertahap. Lalu, badan ini juga dapat memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta memberi dukungan kebijakan regulasi, menyiapkan konsep pendanaan rendah karbon, dan implementasi tingkat komponen dalam negeri (TKDN). "Kami menyarankan, perlu dibentuk badan pelakasana EBT," ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR RI Rudy Mas'ud pun mendukung usulan tersebut agar terimplementasi dengan baik. Apalagi target bauran bersih sebesar 23% di tahun 2025 cukup berat, lantaran selama ini masalah keekonomian harga terus menjadi tantangan. "Perlu dibuat semacam SKK Migas untuk EBT. Kalau tidak patuh, paling tidak kami bisa memberikan isntruksi," ujarnya.
Perpres Harga Listrik EBT
Pemerintah sedang menyusun rancangan peraturan presiden (Perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru terbarukan oleh PLN. Beleid ini ditujukan agar investasi di sektor EBT lebih bergairah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pandemi Covid-19 telah berimbas pada permintaan sektor energi khususnya bahan bakar fosil. Karena itu, sumber energi terbarukan sangat tepat untuk dikembangkan di tengah kondisi saat ini.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total potensi EBT di Indonesia mencapai 417,8 gigawatt (GW). Namun, hingga saat ini total pemanfaatanya baru mencapai 10,4 GW atau 2,5%. "Kita bisa memanfaatkan EBT dan mengurangi energi fosil, meski tidak semua bisa dihapus," ujar Arifin.
Proses penyusunan Perpres EBT diharapkan dapat rampung dalam waktu dekat ini. Dalam draf aturan itu, salah satu insentif yang diberikan pemerintah yakni terkait penggantian biaya eksplorasi bagi pelaku usaha di sektor panas bumi.