Target pemakaian pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan sebesar 45,2 gigawatt (GW) di 2025 diprediksi tidak akan tercapai. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan agar pemerintah merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 untuk mempercepat proses transisi energi bersih.
Penulis IESR Agus Praditya Tampubolon mengatakan tak tercapainya target itu karena pertumbuhan ekonomi periode 2015 hingga 2019 yang rendah. Dampaknya, konsumsi energi tahunan dan listrik per kapita pun ikut melemah.
Nah, RUEN yang ditetapkan pada 2017 memakai data riil 2000 hingga 2015. “Proyeksinya jadi overestimated sehingga tidak proporsional, termasuk pada kapasitas pembangkit,” ucapnya dalam siaran pers, Rabu (30/9).
Dalam hitungannya, realisasi energi terbarukan yang bakal tercapai di 2025 hanya 22,62 GW. Jaringan gas kota, kendaraan listrik, dan biodiesel yang dicanangkan pemerintah hanya berkontribusi terhadap bauran energi primer sekitar 3% menjadi 17,9%.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa berpendapat RUEN 2017 belum mengadopsi visi transisi energi, walaupun ada arget bauran energi sebesar 23% di 2025. Padahal, transisi dari bahan bakar fosil ke ramah lingkungan telah menjadi fenomena global untuk merespon perubahan iklim.
Pemuktahiran RUEN akan berguna untuk mengakomodasi kemajuan dan perkembangan transisi energi, serta mengantisipasi tantangan dan peluang. Keekonomian teknologi energi terbarukan dan sistem penyimpanannya semakin murah. Hal ini dapat mengakselerasi upaya transisi energi.
Saat ini harga listrik dari energi surya dan angin skala besar sudah mampu bersaing dengan listrik dari pembangkit batu bara. Revolusi digital, tumbuhnya konsumen yang memakai bahan bakar ramah lingkungan serta bangkitnya kendaraan listrik menjadi faktor pendorong upaya dekarbonisasi sektor energi.
Merujuk data RUEN, di 2025 energi terbarukan diproyeksikan naik dari 7% menjadi 23%, batubara dari 26% menjadi 30%, dan bahan bakar minyak turun dari 46% menjadi 25%, dan gas relatif turun menjadi 22% dari sebelumnya 23% dalam bauran energi primer nasional.
Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan di tahun 2025 mencapai 45,2 gigawatt. Rinciannya, 20,9 GW dari tenaga air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu.
Pemerintah Fokus Pembangkit Energi Terbarukan
Pemerintah akan menggenjot pengembangan energi baru terbarukan atau EBT di Indonesia. Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2019-2028, target penambahan kapasitas pembangkit listrik EBT sebesar 16,7 gigawatt (GW). Sampai dengan Juni 2020 kapasitas terpasangnya baru 10,43 gigawatt.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemerintah akan fokus pada energi rendah karbon. "Seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTB), matahari (PLTS), dan terus melakukan peningkatan pemanfaatan teknologi batu bara bersih," ujar dia pada Rabu pekan lalu.
Namun, pengembangan EBT masih memiliki tantangan. Salah satunya, harga jual listrik yang lebih mahal dibandingkan pembangkit konvensional sehingga pengembangannya pun cenderung stagnan. Masalah berikutnya, beberapa PLTB dan PLTS memerlukan kesiapan sistem yang mumpuni untuk menjaga kontinuitas pasokan tenaga listrik.
Tantangan lainnya yakni lokasi. Pembangkit EBT yang biayanya rendah, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), minihidro (PLTM), dan panas bumi (PLTP), terletak di daerah yang jauh dari pusat beban. Kondisi ini membuat waktu pembangunannya relatif lama.