Pandemi Tak Cegah Pemanasan Global, Suhu Bumi Diprediksi Bakal Naik

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi. Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa alias UNEP menyebutkan bumi tetap memanas di atas tiga derajat Celcius pada akhir abad ini.
Penulis: Sorta Tobing
10/12/2020, 11.13 WIB

Dunia sedang menuju perubahan iklim yang ekstrem. Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa alias UNEP menyebutkan bumi tetap memanas di atas tiga derajat Celcius pada akhir abad ini. 

Penurunan emisi karbon sebesar 7% tahun ini karena pandemi corona tidak berdampak signifikan pada pemanasan global. Kondisinya akan berbeda kalau seluruh negara sepakat mempercepat pemangkasan emisinya hingga 25% pada 2030.

Emisi dunia, menurut catatan Reuters, telah tumbuh rata-rata 1,4% per tahun sejak 2010. Peningkatan yang paling tajam terjadi pada tahun lalu sebesar 2,6% dengan total emisi setara karbondioksida mencapai 59,1 giga ton. Rekor baru ini yang mendorong kenaikan suhu bumi hingga tiga derajat Celcius pada akhir abad nanti. 

Tahun ini, emisi karbon turun karena perekonomian dunia yang melambat di tengah pandemi Covid-19. Penurunan perjalanan, aktivitas industri, dan pembangkit listrik hanya berhasil mengurangi emisi sebesar 7%. Nilainya setara pengurangan kenaikan suhu bumi sebesar  0,01 derajat Celcius pada 2050. 

Melansir dari AlJazeera, bumi telah memanas lebih satu derajat Celcius sejak masa praindustri. Dampaknya, kekeringan lebih sering terjadi. Begitu pula dengan kebakaran hutan, badai besar, mencairnya es di kutub, dan kenaikan permukaan air laut. 

Para peneliti dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus Eropa menyebut bulan lalu adalah November terpanas yang pernah tercatat. “Tahun 2020 menjadi salah satu yang terhangat dalam catatan. Kebakaran hutan, badai, dan kekeringan yang terus terjadi bakal menimbulkan malapetaka,” kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen, Rabu (9/12).

UNEP menghitung, emisi dunia harus turun 7,6% setiap tahun hingga 2030 untuk mencapai Kesepakatan Paris 2015. Sebanyak 195 negara telah sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari dua derajat Celcius tapi menuju 1,5 derajat Celcius di atas suhu pada masa praindustri. 

Dengan banyaknya paket stimulus dari banyak negara untuk memulihkan ekonomi, UNEP berpendapat agar sebagian dapat masuk ke program perubahan iklim. Alokasi dananya diperkirakan dapat memotong 25% emisi pada 2030. 

Banyak negara, seperti Uni Eropa, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang, telah berkomitmen menjadi untuk menjadi 0% emisi pada pertengahan abad ini. Namun, laporan UNEP menyebut, target-targetnya perlu diterjemahkan ke dalan kebijakan dan tindakan jangka pendek yang kuat. “Tingkat ambisi Kesepakatan Paris harus naik tiga kali lipat untuk mencapai target tersebut,” ujar Andersen. 

Indonesia Akan Keluarkan Aturan Perdagangan Karbon

Aturan perdagangan emisi karbon hampir rampung. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Presiden Joko Widodo akan mengeluarkan aturannya pada awal Desember 2020.

Potensi pendapatan dari perdagangan itu cukup menjanjikan. Luhut mengatakan Indonesia memiliki 75% hingga 85% kredit emisi karbon yang berasal dari hutan bakau, lahan gambut, padang lamun, dan terumbu karang. “Awal bulan depan, kita bisa melihat keputusan baru presiden tentang kredit karbon,” kata dia pada 25 November lalu.

Saat ini dunia sedang bertransisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan. Luhut menyinggung soal pentingnya Indonesia melakukan diversifikasi sumber energi. Apalagi, impor minyak selama ini telah memperlebar neraca dagang.

Diversifikasi pun menjadi tak terelakkan karena pemakaian jumlah bahan bakar fosil terus menipis. Selama bertahun-tahun Indonesia tak berhasil menemukan cadangan baru yang signifikan jumlahnya.

Pemerintah mendorong agar industri mulai bertransformasi. Misalnya, melalui pengembangan mobil listrik dan baterai kendaraan listrik. “Tentu saja, swasta dapat ikut,” kata Luhut.