Tekan Emisi Karbon, METI Usul Penggunaan Energi Terbarukan Minimal 50%

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Warga mengecek Panel Surya di Pantai Bakti Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (7/10/2019).
9/4/2021, 19.46 WIB

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia alias METI mengusulkan adanya program Indonesia RE 50/50 Initiative atau penggunaan energi baru terbarukan minimal 50% pada 2050. Program ini sebagai upaya Indonesia untuk memenuhi target Net-zero Emission pada 2050.

Ketua Umum Meti Surya Darma mengatakan akan menyampaikan usulan tersebut ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) 2022. Apalagi isu mengenai perubahan iklim menjadi tren global saat ini.

"Kami berpikir alangkah baiknya kalau kita mempunyai inisiatif untuk disampaikan di forum G20," kata Surya dalam peluncuran 'Virtual The 10th Indo EBTKE ConEx 2021' Jumat (9/4).

Adapun 50% tersebut diharapkan benar-benar berasal dari energi terbarukan. Kalaupun ada yang berasal dari sumber energi baru, setidaknya itu bukan dari non energi terbarukan.

Pasalnya, energi baru yang berkembang saat ini tidak hanya bersumber dari energi terbarukan saja. Misalnya ada batu bara cair, nuklir dan hidrogen. "Yang kita usahakan di sini adalah 50% ini adalah energi terbarukan," ujarnya.

Untuk itu, inisiatif ini akan METI sampaikan pada pertemuan G20 tahun depan. Khususnya untuk menurunkan emisi karbon menuju net zero tahun 2050 dengan peningkatan energi terbarukan.

Meti juga akan mendorong adanya upaya pengurangan subsidi, dengan memberikan kompensasi pada pengembangan energi terbarukan. Lalu mengusulkan pembentukan otoritas khusus mendorong pemanfaatan energi terbarukan.

Meski demikian, perlu adanya kerangka regulasi yang jelas untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Termasuk yang saat ini tengah dibahas di DPR tentang RUU EBT. "Sehingga kita fokus bicaranya dalam rangka energi terbarukan bukan energi baru terbarukan," ujarnya.

Adapun strategi yang akan diterapkan dalam merealisasikan itu semua di antaranya kajian keberadaan subsidi yang menyebabkan tidak berkembangnya energi terbarukan dan terlambatnya penurunan emisi gas rumah kaca.

Kemudian menargetkan PLTD 0% mulai 2030, dengan tidak lagi ada pengembangan PLTU batu bara dan yang sudah beroperasi capacity factor di cap 50% mulai 2030. Kemudian PLTGU tetap dikembangkan hingga 2040 setelah itu tidak ada lagi PLTGU baru.

PLTU batu bara yang saat ini sudah beroperasi harus co-firing minimal 5% hingga PPA berakhir. Kemudian Biomassa untuk co-firing berasal dari limbah pertanian/sampah perkotaan atau hutan energi yang dikelola secara sustainable.

Mengandalkan energi setempat yang bersumber dari energi terbarukan, seperti PLTA, PLTP, sebagai baseload. Dalam hal ini, yang di wilayah Aceh misalnya tidak perlu ada listrik dari Sumatera bagian Selatan, tapi fokus pada pemanfaatan PLTA/PLTP, PLTBm/PLTBg/PLTS/PLTB.

Berikutnya, pemerintah harus menerapkan carbon pricing yakni perdagangan karbon ataupun pungutan karbon energi terbarukan sebagai merit order. Kemudian pengembangan smart grid dan perbaikan grid untuk dapat menerima VRE lebih besar. Serta, pengembangan kawasan ekonomis dan industri mengutamakan energi terbarukan.

Reporter: Verda Nano Setiawan