Pertamina Group memulai perdagangan karbon di antara anak perusahaan untuk mengurangi emisi.
Pada tahap awal ini, perdagangan karbon dilakukan oleh Pertamina New & Renewable Energy (NRE), Pertamina Patra Niaga, dan Pertamina Geothermal Energy. Chief Executive Officer Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution mengatakan Patra Niaga membeli karbon kredit dari Pertamina NRE dengan volume 1,8 juta ton emisi karbon ekuivalen untuk periode satu tahun.
Alfian mengatakan karbon kredit tersebut akan meng-offset karbon yang dihasilkan Pertamina Patra Niaga dari bisnisnya. Dalam hal ini Pertamina NRE berperan sebagai aggregator perdagangan karbon di Pertamina Group.
“Selanjutnya kami berharap juga dapat dilaksanakan di lingkungan BUMN,” ujarnya.
Sumber yang ditunjuk untuk meng-offset karbon adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Lahendong unit 5 dan 6 berkapasitas 2x220 MW yang dikelola oleh PGE. PLTP yang berlokasi di Sulawesi Utara tersebut merupakan salah satu proyek Clean Development Mechanism (CDM) PGE yang telah memegang Verified Carbon Standard (VCS) dari Verra sejak tahun 2018.
Sebelumnya, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) mencatat perdagangan karbon di Indonesia dapat menembus US$ 300 miliar atau sekitar Rp 4.625 triliun (asumsi kurs Rp15.418 per dolar) per tahun, yang berasal dari kegiatan menanam kembali hutan yang gundul hingga penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Kementerian ESDM juga sudah resmi meluncurkan perdagangan karbon, di mana mulai 2023-2024, perdagangan karbon dilakukan di subsektor pembangkit tenaga listrik secara mandatory. Perdagangan karbon dilakukan pada unit pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang terhubung ke jaringan tenaga listrik PT PLN (Persero) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW. Perdagangan karbon itu sendiri diimplementasikan melalui 2 mekanisme, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi.