Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menghitung pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri masih tertahan di angka 4% atau sekira 147,4 gigawatt (GW) dari total potensi sebesar 3.685 GW.
Total potensi EBT dalam negeri berasal dari energi surya 3.295 GW, angin 155 GW, panas bumi 24 GW, bioenergi 57 GW, hidro 95 GW dan ombak laut 60 GW.
Ketua Umum METI, Wiluyo Kusdwiharto, mengatakan bahwa pemerintah perlu menelurkan terobosan yang berani dan konsisten untuk mengakselerasi penggunaan energi baru terbarukan.
Perkiraan METI sejalan dengan capaian realisasi implementasi rancangan usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. Dalam dokumen tersebut, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 20,9 GW.
Besaran tersebut berasal dari energi hidro 10,4 GW, panas bumi 3,4 GW, surya 5 GW, biogas dan biomassa 600 megawatt (MW) dan energi lainnya 1,5 GW.
PLN mengklaim sudah memproses 13 GW pembangkit listrik EBT. Namun dalam perjalannya baru 800 MW yang telah beroperasi komersial. Sementara sebanyak 5,4 GW dalam tahap power purchase agreement (PPA) atau perjanjian pembelian tenaga listrik yang dilakukan oleh PLN dengan pengembang listrik swasta.
Selanjutnya, 1,2 GW dalam proses pelaksanaan pengadaan, 5,6 GW dalam tahap studi teknis dan pendanaan dan sisa 7,9 GW masih dalam tahap perencanaan.
"Untuk segera menggantikan energi hitam terutama dari batu bara dan BBM ke energi hijau butuh biaya yang tidak sedikit, sumber daya manusia yang kompeten dan peralatan yang memadai," kata Wiluyo di The Neighbourhood Jakarta pada Rabu (5/7).
METI menuliskan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT di Indonesia. Kendala yang kerap ditemui dalam implementasi pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) adalah kebutuhan lahan hingga lokasi dan perizinan.
Sementara hambatan pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih mengacu pada kebutuhan biaya investasi yang besar, dan waktu pengembangan proyek hingga 7-10 tahun, dihitung dari tahap eksplorasi sampai operasi.
Aspek lokasi dan perizinan juga menjadi rintangan dalam pengembangan PLTP, khususnya pada lokasi yang berada di kawasan hutan konservasi atau hutan lindung.
METI juga mencatat sejumlah kendala dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang memerlukan kesiapan sistem untuk mengakomodir masuknya setrum angin dan surya.
Menurut METI, implementasi PLTS dan PLTB memerlukan komponen tambahan berupa baterai khusus untuk energi penyimpanan atau battery energy storage system (BESS) sebagai infrastruktur pendukung.
"Tantangan pengembangan EBT ini perlu adanya regulasi. Kami harapkan nanti RUU mengenai EBET segera terbit agar ada solusi," ujar Wiluyo.