Transisi Energi, IESR Ramal Permintaan Batu Bara Turun 10% usai 2030
Institute for Essential Services Reform (IESR) memprediksi permintaan batu bara di Indonesia akan turun sekitar 10% setelah 2030. Hal tersebut karena adanya tren transisi energi menuju energi terbarukan dan komitmen Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1.5 derajat celcius.
“Pemerintah sudah berencana pensiun dini PLTU batu bara yang otomatis sudah pasti dari segi demand batu bara itu akan turun. Negara lain juga sudah mencanangkan net zero emission, jadi demand batu bara akan turun,” kata Ketua Akademi Transisi Energi, IESR Irwan Sariffudin dalam Wokshop Jelajah Energi Kaltim, Selasa (5/9).
Irwan mengatakan untuk membangun transisi energi yang berkeadilan, pemerintah daerah tidak boleh hanya memperhatikan nasib pekerja di pertambangan batu bara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saja, melainkan juga harus memperhatikan para pekerja di daerah-daerah penunjangnya.
“Mereka nanti ganti kerjanya jadi apa nih? Kita harus mensiapkan mereka agar mereka tidak tertinggal bisa dibilang begitu untuk tansisi energi berkeadilan,” kata dia.
Dia menyebutkan, pada tahun 2022, Indonesia memproduksi sekitar 360,80 juta ton batu bara atau 75-80% untuk ekspor, dan sisanya digunakan untuk kebutuhan di dalam negeri khususnya untuk pembangkit listrik.
“Jadi ini memang harus kita ketahui, dengan kebijakan transisi energi yang telah ditetapkan, maka bisa kita lihat atau kita antisipasi dalam jangka yang tidak lama lagi permintaan batu bara domestik kemungkinan akan turun,” kata dia.
Irwan menyebutkan, Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 33,70 miliar ton yang tersebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan di beberapa daerah lainnya.
Namun demikian, daerah-daerah tersebut tidak hanya mendapatkan keuntungan yang dihasilkan oleh sektor industri batubara, tetapi juga merasa kerugian yang ditimbulkan olehnya.
“Kami telah melakukan Studi Redefining Future Jobs pada tahun 2022 dan menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batu bara, tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat yang berada di daerah itu,” kata Irwan.
Adapun kerugian yang dirasakan oleh masyarakat di daerah tersebut yakni, dampak ekonomi yang tidak merata, degradasi lahan, dan risiko kesehatan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperhatikan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat yang berada di daerah penghasil batu bara.
“Jadi pemerintah jangan hanya fokus untuk memperhatikan transisi energi untuk kedepannya, tetapi harus menyiapkan kerugian yang dirasakan oleh masyarakat yang terdampak,” ujarnya.
Perusahaan Batu Bara Mulai Kurangi Produksi
Sementera itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa perusahaan batu bara memang sudah mulai mengurangi produksinya, mengigat adanya transisi energi menuju energi terbarukan atau energi bersih. Sehingga penggunaan batu bara pun juga akan berkurang.
“Bahkan beberapa perusahaan batu bara punya anak usaha di sektor energi terbarukan. Itu bukti sebenarnya dari perusahaan batu baranya sendiri karena sudah mulai difersifikasi dan sudah melihat bahwa usaha batu bara ini secara ekonomi dalam jangka panjang akan makin sulit,” ujar Bhima saat dihubungi Katadata, Salasa (5/9).
Menurut dia, tantangan sektor batu bara imbas transisi energi yaitu permintaannya yang akan tertekan, lalu harganya juga sudah mengalami penurunan, serta cadangan batu bara dengan kalori yang tinggi akan semakin sedikit. “Jadi dengan begitu mereka mulai perlahan mengurangi produksinya,” ujarnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada Agustus 2023 sebesar US$ 179,90 per ton. Angka itu turun 6,1% dibandingkan harga acuan Juli 2023 yang sebesar US$ 191,6 per ton.
Lebih rinci lagi, kelas HBA I pada Agustus 2023 dipatok US$ 84,75 per ton. Sementara HBA II sebesar US$ 57,38 per ton. Harga baru untuk HBA III dipatok sebesar US$ 31,96 per ton.
Sebelumnya, HBA ditetapkan berdasarkan rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900, dengan kualitas yang disetarakan pada nilai kalori 6.322 kcal/kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%.