Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membangun pembangkit tenaga nuklir atau PLTN untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Namun, pembangunan PLTN tak cukup hanya mengandalkan Undang-Undang (UU) Ketenaganukliran yang saat ini sudah dimiliki Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, nuklir mempunyai banyak fungsi, mulai dari pemanfaatan teknologi di bidang medis atau kesehatan, hingga untuk keperluan peningkatan produktivitas pangan, dan juga bisa menjadi sumber energi. Pemerintah pun berencana membangun PLTN dengan memastikan keamanannya.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah akan menggodok aturan khusus terkait pembangunan PLTN di dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EB-ET).
“Kalau bicara energi bersih salah satunya itu nuklir, tapi ini kan isu keselamatan, jadi kami ingin perkuat itu di dalam RUU EBT tentang keselamatannya. Kami juga ingin perkuat di situ supaya makin meyakinkan dari sisi mulai dari percenaan sampai ke commisioning,” kata Dadan saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta (23/10).
RUU EBT dapat Membatasi Pendanaan Transisi Energi
Lembaga riset dan advokasi, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebelumnya menilai RUU EBT dapat membatasi pendanaan transisi energi di Indonesia. Dana tak hanya akan digunakan untuk energi terbarukan, tetapi juga untuk mendanai energi baru.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan ICEL Fajri Fadhillah menilai pemerintah seharusnya menghapus energi baru dalam Rancangan RUU EBT, sehingga RUU tersebut diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (RUU ET) agar pendanaan hijau fokus di energi terbarukan saja.
“Menurut saya pendanaan hijau membicarakan untuk sumber daya yang terbatas. Kalau RUU EBT disahkan, kompetisi untuk benar-benar membicarakan transisi khusus untuk sumber energi terbarukan akan semakin sempit,” ujarnya dalam acara, ‘Ubah RUU EBT jadi UU ET: Akselerasi Energi Terbarukan untuk Perangi Polusi Udara’, Jakarta, Jumat (21/9).
Fajri mengatakan, jika RUU EBT itu tetap disahkan, maka perspektif para pendana juga akan tercampur. Mereka relatif memilih investasi pada energi baru, sehingga pendanaan untuk energi terbarukan semakin sedikit. Dengan demikian, menurut dia, program transisi energi di Indonesia tidak bisa berjalan dengan baik.
Alasan lain RUU tersebut harus diubah menjadi RUU ET, menurut dia, lantaran RUU EBT tidak dapat mengakselarasi transisi energi di Indonesia. RUU tersebut masih memasukkan pembangkit energi baru dan beberapa sumber energi fosil, salah satunya pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).
RUU EBT juga mengatur sumber energi nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019, biaya investasi PLTN lebih mahal hingga lima kali lipat ketimbang investasi untuk energi angin dan matahari.
Tak hanya itu, RUU EBT juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan. Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen).