Indonesia Masih Andalkan Energi Fosil, Penggunaan EBT Belum Bisa 100%

ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN
Sejumlah pekerja beraktivitas di area instalasi sumur Geothermal atau panas bumi milik PT Geo Dipa Energi kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (10/10/2018). Indonesia memiliki sekitar 40 persen cadangan energi geothermal dunia sehingga memiliki potensi tinggi untuk sumber energi terbarukan namun baru sekitar lima persen yang digunakan.
Penulis: Nadya Zahira
15/11/2023, 10.47 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan Indonesia tetap mengandalkan energi fosil sebagai sumber energi sementara untuk mencukupi kebutuhan energi masyarakat dengan periode transisi menggunakan gas bumi sebelum pada akhirnya menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. 

Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan, penggunaan energi baru dan tebarukan (EBT) belum bisa menggantikan energi fosil dalam waktu dekat. Namun, penggunaan energi fosil ini mempertimbangkan tiga faktor yakni ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan. 

“Kementerian ESDM akan tetap menggunakan energi fosil sebagai sumber energi sementara, selama masa transisi menuju NZE di Indonesia. Kita tidak hanya membahas lingkungan, tapi kita juga perlu mempertimbangkan ketersediaan, aksesibilitas, dan keterjangkauan," ujarnya melalaui keterangan resmi, Rabu (15/11). 

Mirza mengatakan, energi fosil seperti minyak dan gas bumi, juga batu bara dijadikan sebagai sumber energi di sektor transportasi maupun sebagai bahan bakar pembangkit sementara, sebelum tergantikan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. 

“Gas bumi sebagai energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan minyak bumi dan batu bara, juga dapat dimanfaatkan sebagai energi transisi sebelum beralih 100% ke energi terbarukan di sektor transportasi dan juga pada pembangkit listrik," kata Mirza.

Dia menjelaskan, secara umum transisi menuju emisi nol bersih memerlukan perubahan yang dapat dikategorikan ke dalam empat pilar. Pertama, peningkatan intensitas energi yang membantu mengurangi biaya transisi. Kedua, dekarbonisasi pembangkit listrik untuk mengurangi emisi langsung di sektor ketenagalistrikan. Ketiga, peralihan ke bahan bakar rendah emisi pada penggunaan akhir dan penangkapan. Keempat, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Utilization Storage/CCUS) yang mengurangi emisi dari industri yang emisinya sulit dikurangi.

Menurut dia, untuk bisa mewujudkan target net zero emisi memerlukan kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak, termasuk institusi dan lembaga termasuk dengan akademis dan kalangan industri terkait melalui kolaborasi yang kuat. “Dengan begitu saya yakin akan mencapai dampak yang lebih besar dalam mengurangi emisi dan bergerak menuju net zero emission,” kata dia. 

Transisi Energi Dilakukan dengan Berhati-hati

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menilai transisi energi menuju penggunaan energi baru terbarukan atau EBT harus dilakukan dengan hati-hati dan pada waktu yang tepat, serta harus tetap memperhatikan aspek keamanan energi.

“Sangat penting bahwa aspek keamanan energi diperhatikan dalam transisi energi. Tidak realistis untuk mengharapkan energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek,“ ujar Mahendra saat membuka diskusi Save the Planet: Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and EV Development, Senin (25/9).

Dia menjelaskan bahwa banyak pemerintah dan negara yang telah menempuh jalan yang ekstrem namun pada akhirnya memutar balik komitmennya dalam net zero emission (NZE) dan pengembangan energi terbarukan.

Menurut Mahendra, EBT tidak mampu menggantikan energi fosil dalam jangka pendek lantaran beberapa aspek, seperti kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan.

Apalagi, teknologi untuk mendorong transisi energi kerap kali membutuhkan kapital yang sangat besar namun produktivitasnya rendah. Beberapa negara bahkan tidak memiliki pendanaan yang cukup. “Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dibuka kembali di Eropa,” kata dia.

Kendala lainnya yaitu kurangnya pendanaan untuk proyek-proyek hijau yang saat ini masih belum memberikan keuntungan. Dia mengungkapkan bahwa hal ini terjadi pada Inggris yang belum lama ini merevisi kebijakan hijaunya, salah satunya terkait penundaan pelarangan kendaraan berbahan bakar minyak.

Oleh karena itu, dia mengatakan agar Indonesia berhasil dalam mengembangkan ekonomi hijau dan beralih ke energi yang lebih bersih, maka pemerintah perlu meneliti lebih cermat terkait kesimbangan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses transisi tersebut. “Kita harus fokus pada penelitian berbasis bukti,” kata dia.

Reporter: Nadya Zahira