Di COP28, Negara-negara Berjanji Tingkatkan Kapasitas EBT 3 Kali Lipat

Katadata/Ezra Damara
Suasana di luar Dubai City Expo yang menjadi pusat penyelenggaraan KTT Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
Penulis: Hari Widowati
3/12/2023, 07.22 WIB

Berbagai negara meluncurkan inisiatif-inisiatif baru untuk meningkatkan energi bersih dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil pada pertemuan iklim PBB COP28 di Dubai. Dalam salah satu inisiatif, 116 negara berjanji untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada 2030 sebagai cara untuk mengurangi porsi bahan bakar fosil dalam produksi energi dunia.

Janji yang disebut sebagai Global Decarbonization Accelerator (GDA) ini merupakan salah satu dari sejumlah pengumuman COP28 yang bertujuan untuk mendekarbonisasi sektor energi. Seperti diketahui, sektor energi merupakan sumber dari sekitar tiga perempat emisi gas rumah kaca global. Inisiatif-inisiatif ini juga mencakup pengembangan tenaga nuklir, pengurangan emisi metana, dan penghentian pendanaan swasta untuk tenaga batu bara.

"Inisiatif-inisiatif ini dapat dan akan membantu transisi dunia dari batu bara yang tidak berkelanjutan," kata Sultan Al-Jaber, Presiden KTT COP28 dari Uni Emirat Arab (UEA), seperti dikutip Reuters, Sabtu (2/12).

Deklarasi GDA yang dipimpin oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, dan UEA ini juga mengatakan bahwa peningkatan tiga kali lipat energi terbarukan akan membantu menghilangkan bahan bakar fosil yang menghasilkan CO2 dari sistem energi dunia paling lambat pada 2050. Para pendukung deklarasi ini termasuk Brasil, Nigeria, Australia, Jepang, Kanada, Chili dan Barbados.

Cina dan India telah mengisyaratkan dukungan untuk melipatgandakan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030. Namun, keduanya tidak mendukung keseluruhan janji yang mengaitkan peningkatan energi bersih dengan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil.

Uni Eropa dan UEA ingin agar janji energi terbarukan ini dimasukkan dalam keputusan akhir KTT Iklim PBB COP28, untuk menjadikannya sebagai tujuan global. Hal ini akan membutuhkan konsensus di antara hampir 200 negara yang hadir.

Ikrar tersebut juga menyerukan "penghentian penggunaan energi batu bara yang tidak berkelanjutan" dan penghentian pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru. Ikrar ini juga mencakup target untuk menggandakan tingkat efisiensi energi global pada tahun 2030.

Kesenjangan di Negara-negara yang Rentan

Negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim bersikeras bahwa target-target tersebut harus dipasangkan dengan kesepakatan di antara negara-negara di COP28 untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap di dunia.

"Ini hanya setengah dari solusi. Janji tersebut tidak dapat menutupi negara-negara yang secara bersamaan meningkatkan produksi bahan bakar fosil," kata Tina Stege, Utusan Iklim untuk Kepulauan Marshall.

Penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin secara global telah meningkat signifikan selama bertahun-tahun. Akan tetapi, kenaikan biaya, kendala tenaga kerja, dan masalah rantai pasokan telah memaksa penundaan dan pembatalan proyek dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menyebabkan pengembang energi terbarukan seperti Orsted dan BP harus menanggung kerugian hingga miliaran dolar.

Untuk mencapai target 10.000 gigawatt (GW) energi terbarukan yang terpasang di seluruh dunia pada 2030, pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan harus meningkatkan investasi dan mengatasi biaya modal yang tinggi. Pasalnya, kedua faktor tersebut menjadi menghambat proyek-proyek energi terbarukan di negara-negara berkembang.

"Masih ada ketidaksesuaian antara potensi dan keterbatasan kami dalam menarik investasi," ujar Najib Ahmed, seorang konsultan di Kementerian Iklim Somalia. Menurut data Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), Afrika hanya menerima 2% dari investasi global di bidang energi terbarukan selama dua dekade terakhir.

Pengembangan Energi Nuklir

Lebih dari 20 negara juga menandatangani sebuah deklarasi yang bertujuan untuk melipatgandakan kapasitas tenaga nuklir pada tahun 2050. Utusan Iklim AS John Kerry mengatakan bahwa dunia tidak dapat mencapai emisi "nol bersih" tanpa membangun reaktor-reaktor baru.

"Kami tidak membuat argumen bahwa ini benar-benar akan menjadi alternatif utama untuk setiap sumber energi lainnya. Anda tidak dapat mencapai titik nol pada tahun 2050 tanpa nuklir, seperti halnya Anda tidak dapat mencapainya tanpa menggunakan penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon," kata Kerry dalam sebuah upacara peluncuran di COP28, di Dubai, pada Sabtu (2/12).

Kapasitas nuklir global saat ini mencapai 370 GW, dengan 31 negara yang menjalankan reaktor. Untuk meningkatkan kapasitas tersebut hingga tiga kali lipat pada 2050, diperlukan peningkatan yang signifikan dalam hal persetujuan dan pendanaan.

Dekarbonisasi Batu Bara dan Migas

Janji lainnya membidik batu bara, bahan bakar fosil yang paling banyak mengeluarkan CO2. Prancis mengatakan akan menggalang sekelompok negara untuk meminta Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengukur risiko iklim dan keuangan yang melekat pada investasi di aset batu bara baru. Tujuannya, untuk mencegah para pemodal swasta mendukung proyek-proyek tersebut.

Negara pengguna batu bara seperti Kosovo dan Republik Dominika juga sepakat untuk mengembangkan rencana untuk menghentikan penggunaan listrik berbahan bakar batu bara.

Sementara itu, hampir 50 perusahaan minyak dan gas termasuk Exxon Mobil menandatangani Piagam Dekarbonisasi Minyak dan Gas. Ini merupakan inisiatif yang digerakkan oleh Presiden COP28 Sultan Al-Jaber untuk memangkas emisi operasional pada 2050.

Piagam ini dikritik oleh kelompok-kelompok lingkungan yang mengatakan bahwa komitmen tersebut hanyalah pengalihan perhatian dari proses COP28 dan gagal menangani emisi yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.

"Komitmen tersebut tidak mencakup setetes pun bahan bakar yang mereka jual, yang menyumbang hingga 95% dari kontribusi industri minyak dan gas terhadap krisis iklim," ujar Melanie Robinson, Direktur Program Iklim Global di World Resources Institute (WRI).