Pemilih Muda Tak Ingin Capres - Cawapres Setengah Hati Tangani Iklim
Pemilih muda merupakan faktor yang akan menentukan perolehan suara para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mereka berharap pasangan calon capres dan cawapres tidak setengah hati membawa isu perubahan iklim dan transisi energi ke ranah politik.
"Pemilih muda berharap paslon capres-cawapres membawa isu perubahan iklim dalam ranah politik tetapi itu belum tergambar dari ketiga paslon, masih setengah hati," ujar Dian Amalia Ariani, Pemimpin Redaksi Suara Mahasiswa Universitas Indonesia 2023, dalam diskusi "Analisis Big Data Rekam Jejak Capres-Cawapres 2024 Isu Iklim dan Transisi Energi" yang diselenggarakan Yayasan Indonesia CERAH, di Jakarta, pada Rabu (20/12).
Dian mencontohkan pemilih muda tidak ingin produk turunan batu bara, seperti batu bara cair dari hasil gasifikasi batu bara masuk ke dalam kategori energi baru. "Itu yang kita tidak mau. Co-firing biomassa itu juga menimbulkan penggundulan hutan dan emisi karbon dari pembakarannya. Jangan mengalihkan emisi dari A ke B," kata Dian.
Dian juga tidak setuju dengan kendaraan listrik yang disebut menjadi solusi terhadap masalah polusi udara, khususnya di Jakarta. Menurutnya, keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di sekitar Jakarta juga memberikan kontribusi besar terhadap masalah polusi udara.
Ia menyebut ada tiga isu iklim dan transisi energi yang menjadi sorotan anak muda. Ketiga isu itu adalah:
1. Skema pensiun PLTU batu bara
2. Apakah transisi energi akan dilakukan secara menyeluruh atau tidak
3. Green jobs (pekerjaan di sektor energi hijau) yang masih kurang populer dibandingkan dengan lapangan pekerjaan lainnya. Anak muda kurang mendapatkan informasi mengenai green jobs. Padahal, di luar negeri kampanye mengenai green jobs sangat gencar.
Pandangan Ketiga Tim Capres-Cawapres tentang Transisi Energi
Grady Nagara, Juru Bicara Muda Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mengatakan timnya mengedepankan kolaborasi dalam menangani masalah iklim dan transisi energi. Pasalnya, pemerintah tidak bisa melakukan hal ini sendirian. Oleh karena itu, publik dan swasta pun harus ikut terlibat.
Menurutnya, masalah transisi energi tidak terlepas dari demand and supply. "Dalam hal kendaraan listrik, Anies-Muhaimin mengkritik kebijakan subsidi kendaraan listrik untuk kendaraan pribadi. Subsidi kendaraan listrik harusnya untuk kendaraan umum," kata Grady.
Dalam dokumen visi-misi, program ketahanan energi Anies-Muhaimin masih menyebut soal meningkatkan stok bahan bakar minyak (BBM) nasional ke tingkat yang aman. Namun, AMIN juga mendorong pemanfaatan energi panas bumi dan diversifikasi energi lainnya, termasuk bioenergi, angin, hidrogen, dan tenaga surya.
Sementara itu, Muhammad Hidayat, Komandan Tim Fanta Earth Prabowo-Gibran, menyebut timnya sadar bahwa perubahan iklim berdampak pada 1 miliar anak muda di dunia. "Perubahan iklim menyebabkan kekeringan, bencana, kerawanan pangan, dan mengancam keselamatan jiwa. Di visi-misi Prabowo-Gibran, jelas itu ada di nomor satu, urgent," tuturnya.
Hidayat menyatakan Prabowo-Gibran akan melanjutkan program-program Presiden Joko Widodo di sektor transisi energi. "Untuk PLTU, itu sudah dijelaskan di visi-misi Prabowo-Gibran akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Kendaraan listrik hanya salah satu cara untuk mengurangi penggunaan energi fosil, tetapi itu yang paling populer kebijakannya," ujarnya.
Diska Resha Putra, Juru Bicara Ganjar-Mahfud, mengatakan Ganjar-Mahfud berkomitmen mengurangi dan menutup PLTU batu bara demi mempercepat transisi menuju energi baru terbarukan (EBT). Dalam visi dan misinya, Ganjar-Mahfud menyebutkan akan mengakselerasi pengembangan EBT sehingga porsinya dalam bauran energi sebesar 25-30% pada 2029.
Angka tersebut lebih ambisius dibandingkan target pemerintah saat ini, yakni 23% pada 2025 dan 31% pada 2050 berdasarkan kebijakan energi nasional.
Ia menilai saat ini permintaan masyarakat terhadap bahan bakar yang berasal dari energi fosil masih tinggi karena harganya yang murah. "Ke depan bagaimana supaya masyarakat tidak menggunakan energi fosil? Biaya energi terbarukan harus lebih murah," ujar Diska.