Lembaga riset nirlaba, Transisi Bersih, menilai pemilik PLTU perlu ikut berkontribusi pada pembiayaan pensiun dini pembangkit listrik yang dimilikinya.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, mengatakan transisi energi menganut prinsip keadilan berdasarkan peran, sehingga biayanya harus terdistribusi secara proporsional berdasarkan kontribusi emisi. Pihak yang menghasilkan banyak emisi harus menerima beban biaya lebih besar.
Laporan Transisi Bersih “Standar Keekonomian dan Keadilan untuk Penutupan Dini PLTU” mengungkapkan penutupan PLTU merupakan proyek publik yang tidak komersial, sehingga tidak akan ada entitas bisnis yang mau membiayainya. Meski demikian, entitas bisnis yang merupakan pemilik dari PLTU juga tidak seharusnya lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penghasil emisi karbon.
"Pemilik PLTU juga telah mendapatkan keuntungan dari beroperasinya PLTU tersebut selama ini," ujarnya saat pemaparan hasil risetnya di Jakarta, Rabu (28/2).
Arum mengatakan, pembebanan sebagian biaya penutupan kepada pemilik PLTU dapat berupa diskon atau pengurangan biaya penggantian. Besarnya diskon tergantung kesepakatan pemilik PLTU dengan pemerintah.
"Berdasarkan prinsip keadilan, mereka seharusnya menjadi salah satu pihak yang menanggung biaya penutupan dalam jumlah yang signifikan. Karena itu cukup fair kalau mereka memberikan diskon biaya penggantian,” ujar Arum.
Transisi Bersih juga merekomendasikan penghitungan dengan model ekspektasi cash flow berdasarkan kontrak untuk mencegah penggelembungan valuasi biaya penutupan PLTU. Pasalnya, pemerintah atau PT PLN (Persero) sudah memiliki patokan margin keuntungan bagi IPP. Pihak IPP umumnya juga menyertakan dokumen cash flow untuk mendukung penawarannya.
“Oleh karena itu, penggunaan parameter sebagai nilai patokan valuasi, pada prinsipnya, mengembalikan keuntungan investor pada parameter awal, terlepas dari kinerja dan operasional aktual mereka. Dan hal tersebut, cukup relevan dan fair baik bagi investor maupun publik,” ujar Direktur Program Transisi Bersih, Harryadin Mahardika,
Laporan ini juga menyebutkan, model pembiayaan pensiun dini PLTU yang paling ideal adalah hibah dari pihak ketiga. Seperti halnya pemilik PLTU, mengacu pada prinsip keadilan, pihak ketiga yang paling relevan yakni entitas ekonomi yang paling banyak menghasilkan emisi dan berpendapatan tinggi.
Jika PLTU berada di negara berpendapatan rendah dan menengah, idealnya hibah datang dari negara berpendapatan tinggi.
Terkait Program Just Energy Transition Partnership (JETP), konsorsium International Partners Group (IPG) merekomendasikan penutupan PLTU sebagai salah satu strategi agar Indonesia mencapai target bebas emisi pada 2060. Namun, dari komitmen pendanaan sekitar Rp 310 triliun, kemungkinan mayoritas pendanaannya akan berupa utang. Hal ini berkaca dari program sejenis di Afrika di mana dana hibah hanya sekitar 3%.
“Model pembiayaan aktual saat ini, di mana sebagian besarnya berupa utang, sebenarnya tidak ideal dan kurang adil bagi negara-negara berkembang,” kata Harryadin.
Laporan Transisi Bersih juga menyebutkan salah satu standar utama yang harus dipenuhi pada penutupan dini PLTU adalah “koherensi”. Itu artinya, kebijakan satu dengan yang lainnya tidak saling mengganggu atau menafikan.
Dalam konteks transisi energi, salah satu bentuk kebijakan tidak koheren yang cukup ekstrim adalah penutupan dini PLTU dan pembangunan PLTU baru. Harryadin mengatakan, dua kebijakan ini bertolak belakang dan memiliki efek yang saling meniadakan.
Menurut dia, program penutupan dini PLTU hanya akan efektif jika tidak ada PLTU baru milik industri yang sedang dan akan dibangun di seluruh Indonesia.
"Jika masih ada PLTU baru yang akan dibangun maka program penutupan dini menjadi sia-sia. Ini sama dengan menguras air kolam sambil memasukkan air baru ke dalam kolam. Semua energi dan usaha akan menjadi sia-sia,” ujar Abdurrahman.