Dunia Mulai Beralih ke LFP, Bagaimana Nasib Proyek Hilirisasi Nikel?

Unsplash
Tren penggunaan baterai lithium ferro phosphate (LFP) dinilai bisa menghambat industri hilirisasi nikel di Indonesia.
Penulis: Rena Laila Wuri
6/5/2024, 13.54 WIB

Yayasan Indonesia Cerah mengatakan beberapa perusahaan otomotif global kini beralih ke lithium ferro phosphate (LFP) untuk kendaraan listriknya. Mereka menilai tren ini akan menghambat proyek hilirisasi nikel yang dilakukan Pemerintah Indonnesia sejak Januari 2020 lalu.

Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah pada 2020 untuk mendorong hilirisasi industri nikel, termasuk sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Larangan ekspor ini memicu protes dari Uni Eropa. Banyak negara dan perusahaan multinasional kemudian mulai mencari alternatif pengganti baterai nikel.

“Beberapa perusahaan otomotif, alih-alih menggunakan nickel cobalt aluminium (NCA) dan nickel manganese cobalt (NMC), sebagian beralih ke LFP untuk kendaraan listriknya,” tulis laporan Indonesia Cerah yang berjudul “Hilirasasi Nikel, Sudahkah Sejalan dengan Transisi Energi?”, dikutip Senin (6/5).

Dalam laporannya, Indonesia Cerah menyebutkan Tesla, Inc. yang merupakan perusahaan otomotif asal Amerika Serikat, sejak 2020 mengumumkan menggunakan baterai LFP untuk produksi kendaraan model ketiga mereka di Tiongkok. Sementara itu, perusahaan mobil ternama Jepang, Nissan Motor, berencana memproduksi baterai LFP karena pertimbangan biaya yang 20–30% lebih ekonomis dibandingkan dengan baterai NMC.

Instalasi baterai LFP pada kendaraan listrik yang mereka produksi, rencananya mulai dipasarkan pada 2026 di seluruh dunia. Menurut data IEA, pertumbuhan baterai LFP dari 2018–2022 meningkat dari 7% menjadi 27%. Sebaliknya, baterai nikel kadar tinggi menurun dari 78% menjadi 66%.

Padahal, Indonesia saat ini sedang berupaya meningkatkan produksi nikel kadar tinggi untuk membangun teknologi hidrometalurgi agar dapat mengekstrak nikel jenis limonite menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP), untuk pembuatan baterai. Investasi senilai US$2,8 miliar digelontorkan untuk membangun tiga smelter hidrometalurgi.

Berdasarkan pergeseran tren perusahaan otomotif yang mulai beralih dari baterai nikel ke baterai LFP, peluang pasar nikel kadar tinggi Indonesia berpotensi semakin kehilangan pasar. Apalagi, Indonesia sangat bergantung pada ekspor nikel ke Tiongkok dengan porsi lebih dari 85%. Cina saat ini menjadi negara produsen baterai LFP untuk kendaraan Light Duty Vehicle (LDV).

Jika terjadi penurunan permintaan nikel dari Tiongkok, Indonesia Cerah menilai perekonomian Indonesia yang sangat mengandalkan hilirisasi komoditas ini akan terguncang.

Peta Jalan Hilirisasi Terlambat

Kendati hilirisasi nikel berjalan sejak 2020, peta jalan hilirisasi justru baru rampung belakangan. Akibatnya, ada banyak celah dan masalah yang mewarnai perjalanan hilirisasi nikel di Indonesia mulai dari masalah lingkungan, sosial dan ketenagakerjaan. Sejumlah pakar menilai, Indonesia dianggap belum siap melakukan hilirisasi baik secara teknis, pembiayaan, maupun teknologi.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia baru menyerahkan draf peta jalan hilirisasi kepada Presiden Joko Widodo pada 30 Januari 2023.  Saat itu, Presiden menjelaskan perbandingan ekspor bijih nikel mentah dan produk hilirisasi setara dengan Rp17 triliun berbanding Rp360 triliun, atau 21 kali lipat lebih besar.

Sekilas terdapat peningkatan yang signifikan dari segi pendapatan ekonomi negara melalui kebijakan hilirisasi nikel, namun sejumlah faktor menunjukkan perlunya kehati-hatian. Jika hal ini tidak diantisipasi oleh pemerintah, dalam jangka panjang Indonesia akan merugi.

Indonesia Cerah mengatakan tren LFP menunjukkan bahwa nikel bukan satu- satunya bahan baku untuk memproduksi baterai. Alhasil, perlu pendekatan komprehensif dalam melihat prospek pasar nikel di masa depan sebagai standar untuk menentukan arah investasi hilirisasi nikel.

Reporter: Rena Laila Wuri