PLN Nusantara Power (PLN NP) menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang menghambat produksi listrik dan operasional pembangkit energi baru terbarukan (EBT). PLN Nusantara Power justru menjadikan ancaman krisis iklim sebagai peluang untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT.
Direktur Keuangan PLN Nusantara Power Dwi Hartono mengatakan, perubahan iklim membawa tantangan dan peluang bagi perusahaan. "Ketika terjadi kemarau berkepanjangan, operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) terganggu karena kurangnya sumber daya air. Di saat yang sama, kemarau panjang dan langit cerah meningkatkan produksi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kami," ujar Dwi, dalam keterangan tertulis, Kamis (20/6).
Pada saat musim hujan berkepanjangan, produksi listrik dari PLTA meningkat karena pasokan air yang melimpah. Di sisi lain, hujan terus-menerus dapat menghambat operasional PLTS.
Berdasarkan pengalaman PLN Nusantara Power, perubahan iklim berupa bencana kemarau panjang yang terjadi di Sulawesi Selatan tahun lalu berimbas pada produktivitas PLTA di wilayah tersebut. Kondisi tersebut membuat produksi listrik dari PLTA yang semula 800 Megawatt (MW) turun hingga 75% menjadi 200 MW.
Menghadapi masalah tersebut, PLN Nusantara Power mengambil langkah-langkah untuk menekan dampak perubahan iklim terhadap bisnis pembangkit listrik. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk meningkatkan intensitas hujan di beberapa unit pembangkit.
Dwi menyebut, anggaran untuk teknologi modifikasi cuaca ini telah dipersiapkan sejak awal tahun, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap keuangan perusahaan. Rencana mitigasi risiko terkait perubahan iklim lainnya juga telah dimasukkan dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan.
Pada saat yang sama, PLN Nusantara Power juga merencanakan pengembangan pembangkit baru yang lebih relevan dengan jaman dan lebih ramah lingkungan. Misalnya, PLTS Terapung Cirata dan PLTS di Ibu Kota Negara (IKN) yang saat ini sudah sinkron 10 MW dengan sistem. Investasi ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan energi jangka panjang.
"Pengembangan pembangkit EBT juga merupakan bagian dari mitigasi pengelolaan risiko ke depan terkait keuangan. Perusahaan harus punya pembangkit baru yang akan menjadi sumber pendapatan baru saat pembangkit lain memasuki masa sunset,“ jelasnya.
Perusahaan telah melakukan setidaknya tiga pendekatan dalam strategi manajemen risiko dan pengelolaan keuangan guna meminimalisasi risiko dampak perubahan iklim. Pertama, melakukan penilaian risiko lingkungan secara rutin untuk mengidentifikasi dan mengelola dampak perubahan iklim.
Kedua, menyusun rencana kontinjensi untuk menghadapi bencana alam seperti banjir, badai, dan kekeringan. Ketiga, bekerja sama dengan pemerintah, lembaga internasional, dan sektor swasta dalam mengembangkan proyek mitigasi perubahan iklim.