Cina menjadikan Indonesia sebagai negara prioritas untuk bekerja sama, termasuk dalam transisi energi. Kerja sama dengan Cina bisa membantu Indonesia untuk mengejar target net zero emission (NZE) di 2060.
Fungsional Diplomat Ahli Madya, Kementerian Luar Negeri, Dino R. Kusnadi, mengatakan mitigasi krisis iklim memerlukan kemitraan internasional yang mampu mempercepat proses transisi energi. Sebagai negara yang menganut asas bebas aktif dalam kerja sama internasional, Indonesia mempunyai keleluasaan untuk memilih mitra selama memberikan nilai tambah secara teknologi, infrastruktur, hingga perekonomian.
“Cina dan Indonesia mempunyai kerja sama yang saling melengkapi. Indonesia merupakan mitra prioritas China. Selama memberikan nilai tambah, kerja sama dapat terus berlangsung. Di sisi lain, Indonesia perlu meningkatkan kapasitasnya agar tidak ketinggalan dengan Tiongkok,” kata Dino di Jakarta, Rabu (25/9).
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, mengatakan peluang untuk meningkatkan investasi energi terbarukan Tiongkok di Indonesia terbuka lebar. Hal ini sejalan dengan komitmen Tiongkok mendukung pengembangan energi ramah lingkungan.
Dia mengatakan, Indonesia perlu menciptakan dan menangkap peluang kerja sama dengan negara yang gencar mengembangkan energi terbarukan, seperti Cina. Hal itu untuk berbagi teknologi dan menarik investasi transisi energi.
Menurut Arief, kerja sama Tiongkok dan Indonesia telah terjalin selama 75 tahun. Kolaborasi Tiongkok dan Indonesia semakin erat dalam kerangka kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Jalan Sutra pada 2013.
Sejalan dengan meningkatnya kerjasama Indonesia-Tiongkok, jumlah investasi Tiongkok ke Indonesia di sektor energi dari 2006 hingga 2022 mencapai US$ 8,9 juta atau sekitar Rp 93 triliun. Porsi investasi di sektor energi dari Tiongkok dialokasikan 86 persen untuk energi fosil, dan 14 persen untuk energi terbarukan.
Dia mengatakan, Kajian IESR menemukan Indonesia dapat mempercepat pencapaian nol emisi karbon pada 2050 dengan dekarbonisasi sektor energi. Indonesia dapat lebih memperkuat kerja sama dengan Tiongkok, misalnya dalam kerangka BRI, untuk mengeksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan proyek energi terbarukan.
Arief menambahkan, kajian IESR menemukan bahwa Indonesia memerlukan investasi sebesar US$ 1,3 triliun untuk mencapai nol emisi karbon pada 2050, yang akan dialokasikan ke berbagai teknologi energi terbarukan. Dukungan investasi yang signifikan ini mensyaratkan kolaborasi internasional yang kuat, termasuk dengan Tiongkok.
Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara IESR, Agung Marsallindo, menuturkan dukungan Tiongkok terhadap transisi energi di Indonesia dapat berupa kolaborasi teknologi dan manufaktur serta investasi. Agung menjelaskan, investasi hijau Tiongkok akan menyasar pada proyek energi terbarukan yang layak secara finansial seperti tenaga surya dan angin.
Menurutnya, Indonesia memiliki sumber daya yang memadai untuk manufaktur pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) disokong dengan biaya produksi yang rendah. Memperkuat peluang kerja sama Indonesia dan Tiongkok dalam sektor energi terbarukan sangat diperlukan dalam mengedepankan pembangunan hijau dan berkelanjutan.
"Hal ini dapat membuka kesempatan Indonesia sebagai hub manufaktur energi terbarukan, mendukung dekarbonisasi industri, serta memastikan kerangka pembiayaan proyek hijau yang bankable dan jangka panjang,” kata Agung.