Protes PLTP Poco Leok Bisa Berdampak pada Investasi Energi Baru Terbarukan

ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.
Sejumlah pengunjuk rasa menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Jerman, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
9/10/2024, 17.50 WIB

Protes masyarakat kepada pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Ulumbu di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), bisa berdampak pada investasi energi baru terbarukan. Investor akan menilai pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia sarat akan ketidakpastian.

"Jelas (berpengaruh). Apapun isu yang memunculkan ketidakpastian, itu pasti akan memberikan pengaruh," ujar Peneliti Purnomo Yusgiantoro Center, Farida Zed, ketika ditanya wartawan mengenai dampak protes pembangunan PLTP Ulumbu pada bauran energi. Farida menjadi pembicara dalam agenda Katadata bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (9/10).

Dia mengatakan, pemerintah membutuhkan investor dalam membangun pembangkit listrik EBT berkapasitas besar seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Di sisi lain, risiko pembangunan listrik tersebut sangat besar. Karena itu, investor akan mempertimbangkan adanya kepastian hukum dan regulasi yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah.

"Jadi kepastian hukum, kemudian regulasi, komitmen pemerintah di dalam pencapaian target-target itu, itu memang harus disupport dengan aspek-aspek lain," ujar mantan Direktur EBT Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut.

Farida mengatakan, keraguan investor selanjutnya akan berdampak pada sulit tercapainya bauran energi baru terbarukan di Indonesia.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), warga Poco Leok menolak perluasan proyek PLTP Ulumbu ke wilayahnya karena khawatir proyek itu akan menghilangkan lahan dan ruang hidup masyarakat. Selain itu, mata air yang menjadi tumpuan utama warga untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari bisa rusak.

Perizinan

Selain kepastian hukum dan regulasi, Farida mengatakan, investor juga membutuhkan kepastian waktu dalam hal proses perizinan. Pengajuan proses izin yang tidak memiliki kepastian waktu, akan sangat berpengaruh terhadap modal yang telah dikeluarkan oleh investor.

Menurut Farida, pemerintah juga harus memastikan kesediaan PLN menampung listrik yang dihasilkan dari pembangkit swasta. Ia berharap proses power purchase agreement (PPA) atau perjanjian pembelian listrik antara perusahaan swasta yang membangun pembangkit EBT dengan PLN berlangsung secara cepat atau tidak berlarut-larut.

"Negosiasi dengan PLN ini mungkin juga memerlukan waktu untuk dilakukan kepastian, jangan sampai PPA itu sekarang berlarut-larut, sehingga ini juga merupakan burden bagi dunia usaha," ujarnya.

Untuk mencapai target bauran EBT, Farida mengatakan, Indonesia tidak dapat hanya bergantung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, dunia usaha atau swasta diperlukan untuk membantu mempercepat capaian tersebut di tengah terbatasnya anggaran pemerintah.

"Dengan keterbatasan dana, pemerintah memiliki tugas lain ya, tidak hanya menyelesaikan masalah energi, tapi kan ada pendidikan, ada kesehatan, ada lain-lain yang harus diselesaikan, karena itu peran swasta ini sangat kita perlukan, saya pikir itu yang penting," ucapnya.

Reporter: Djati Waluyo