IEEFA: Negosiasi Proyek EBT di Indonesia Berjalan Lambat

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.
Petugas melakukan perawatan panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Rabu (21/9/2022).
Penulis: Djati Waluyo
17/12/2024, 15.07 WIB

Temuan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan sebagian besar proyek energi terbarukan belum mencapai tahap kontrak jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) meski sudah dilelang sejak dua tahun lalu. Hal ini mengindikasikan negosiasi proyek-proyek energi baru terbarukan atau EBT di Indonesia berjalan lambat. 

Analis Keuangan Energi IEEFA Mutya Yustika mengatakan pengadaan proyek energi terbarukan ini terhitung lambat jika melihat target penambahan energi terbarukan sebesar 21 gigawatt (GW) dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030.
Dari target 21 GW dalam RUPTL, PLN seharusnya menambah kapasitas energi terbarukan rata-rata 2,1 GW per tahun. Namun, realisasi pembangkit listrik energi terbarukan hanya naik 0,6 GW per tahun.

“Meski PLN menargetkan ekspansi kapasitas energi terbarukan yang signifikan, proses pengadaannya justru berjalan lambat. Kebanyakan proyek energi terbarukan saat ini masih dalam tahap lelang dan negosiasi,” ujar Mutya dalam keterangan tertulis, Selasa (17/12).

Mutya mencontohkan program penggantian sebanyak 5.200 pembangkit listrik tenaga diesel ke energi terbarukan yang diumumkan sejak 2022. Lelang tahap I telah dilakukan dan Letter of Intent (LoI) sudah selesai pada Desember 2023, namun belum ada kontrak yang ditandatangani.

Contoh lainnya adalah Proyek Hijaunesia pada 2023 yang membidik pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar 1 gigawatt (GW). Proyek ini juga masih pada tahap perencanaan dan pemilihan mitra, meski sudah berjalan hampir dua tahun.

Karena itu, IEEFA menilai restrukturisasi komprehensif proses pengadaan perlu dilakukan untuk mencapai tambahan kapasitas energi terbarukan yang cukup besar setiap tahun untuk merealisasikan visi Presiden Prabowo Subianto.

"Pemerintah perlu menetapkan prioritas pengadaan proyek yang ada dalam rencana, didukung dengan prinsip pengadaan dan kontrak yang rasional, dan diperkuat pembiayaan untuk pembangunan energi terbarukan 3-5 GW per tahun," ujarnya.

Mutya mengatakan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala besar secara cepat ini dibutuhkan agar Indonesia dapat menyetop operasi seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), seperti yang dinyatakan Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil.

Hal ini dapat dimulai dengan mengidentifikasi PLTU mana yang perlu diprioritaskan untuk dimatikan, apakah yang dimiliki oleh produsen listrik swasta (IPP) atau dimiliki secara publik oleh PLN, serta performa dari PLTU tersebut.

Prioritaskan Pensiun Dini PLTU Milik PLN

Mutya mengatakan, penghentian operasi PLTU milik IPP membutuhkan negosiasi yang ekstensif. Oleh sebab itu, pemerintah lebih baik memprioritaskan pensiun dini PLTU milik PLN lantaran hanya akan membutuhkan penilaian internal oleh PLN dan pemerintah untuk menerbitkan kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan terkait penghapusan aset yang ditutup.

Dari total kapasitas PLTU di Indonesia sebesar 50 GW, sebanyak 22 GW dimiliki oleh PLN. Sekitar 23% dari PLTU tersebut telah beroperasi lebih dari 25 tahun.

“Karena terjadi kelebihan pasokan, PLTU yang dimiliki PLN juga tidak dioperasikan penuh. Dalam kondisi normal, capacity factor PLTU seharusnya sekitar 80%. Namun, pada 2023, PLTU PLN di Sistem Kelistrikan Jawa-Bali hanya beroperasi dengan capacity factor 59% sedangkan di Sumatera hanya 53%,” ujarnya.

Empat PLTU dengan total kapasitas 4,6 GW masuk dalam kriteria tersebut, yakni PLTU Suralaya Unit 1-7 berkapasitas 3,4 GW, Bukit Asam Unit 1-4 260 MW; Paiton Unit 1-2 800 MW, dan Ombilin Unit 1-2 200 MW. Dari keempat PLTU tersebut, PLTU Suralaya Unit-1 telah beroperasi sejak 1985. Adapun PLTU Suralaya Unit-7 merupakan PLTU termuda, beroperasi sejak 1997.

“Pernyataan Pemerintah Indonesia di G20 dan COP29 menjadi langkah signifikan untuk mengatasi krisis iklim dan bertransisi ke sumber energi yang lebih bersih. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam peraturan perundangan dan regulasi agar PLN dapat merencanakan langkah berikutnya dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dibandingkan energi fosil,” ujar Mutya.

Reporter: Djati Waluyo