Ethiopia Resmikan Bendungan Hidroelektrik Terbesar di Afrika
Ethiopia secara resmi meresmikan bendungan hidroelektrik terbesar di Afrika pada hari Selasa (9/9). Proyek ini akan menyediakan energi bagi jutaan orang di Afrika namun sekaligus memperdalam keretakan dengan Mesir yang berada di hilir.
Ethiopia, negara terpadat kedua di benua itu dengan lebih dari 120 juta orang, menilai Bendungan Kebangkitan Ethiopia Raya atau Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) senilai US$ 5 miliar (Rp 82,37 triliun, kurs Rp 16.480/US$) di anak sungai Nil ini sebagai pusat dari ambisi ekonominya.
Produksi bendungan telah meningkat secara bertahap sejak turbin pertama diaktifkan pada tahun 2022. Bendungan ini mencapai kapasitas maksimumnya sebesar 5.150 MW, pada Selasa (9/9). Hal ini menempatkannya di antara 20 bendungan hidroelektrik terbesar di dunia, dengan sekitar seperempat dari kapasitas Bendungan Tiga Ngarai di Cina.
Pada upacara peresmiannya di Guba, sebuah jet tempur Ethiopia terbang rendah di atas kabut dari air putih bendungan.
Di bawah kanopi bendera Ethiopia raksasa, Perdana Menteri Abiy Ahmed berpidato di hadapan kerumunan pejabat tinggi termasuk presiden Somalia, Djibouti, dan Kenya.
"Kepada saudara-saudara kami (Sudan dan Mesir); Ethiopia membangun bendungan ini untuk makmur, untuk mengelektrifikasi seluruh wilayah, dan untuk mengubah sejarah orang kulit hitam. Ini sama sekali bukan untuk menyakiti saudaranya," kata Abiy, seperti dikutip Reuters.
Abiy mengatakan bendungan itu akan meningkatkan akses listrik bagi hampir separuh populasi yang tidak memiliki listrik hingga tahun 2022, dan mengekspor surplusnya ke wilayah tersebut.
Air bendungan tersebut telah membanjiri area yang lebih besar dari wilayah London Raya. Menurut pemerintah Ethiopia, bendungan ini akan menyediakan pasokan air yang stabil untuk irigasi di hilir sekaligus membatasi banjir dan kekeringan.
Mesir Khawatir Kekurangan Air
Namun, negara-negara tetangga Ethiopia di hilir telah menyaksikan proyek itu berjalan dengan cemas sejak konstruksi dimulai pada tahun 2011.
Mesir, yang membangun Bendungan Tinggi Aswan di Sungai Nil pada tahun 1960-an, khawatir GERD dapat membatasi pasokan airnya selama musim kemarau. Proyek ini juga dikhawatirkan mendorong pembangunan bendungan lain di hulu.
Kementerian Luar Negeri Mesir menulis surat kepada Dewan Keamanan PBB yang menyatakan bahwa peresmian bendungan tersebut melanggar hukum internasional.
Kairo sejak awal sangat menentang bendungan tersebut. Alasannya, bendungan itu melanggar perjanjian air yang berasal dari awal abad lalu dan menimbulkan ancaman eksistensial.