Otoritas Jasa Keuangan menyebut peluncuran bursa karbon pada September mendatang tidak perlu menunggu implementasi pajak karbon yang saat ini masih digodok oleh Kementerian Keuangan.
Kepala Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan pajak karbon tetap diperlukan untuk menciptakan bursa karbon yang sehat. Namun, ia menilai bursa karbon tetap bisa berjalan meskipun perusahaan penghasil emisi belum dikenakan pajak.
“Memang kalau kita lihat di beberapa negara yang harga karbonnya tinggi itu yang menerapkan pajak,” katanya.
Inarno menuturkan idealnya pajak karbon harus lebih tinggi dari harga karbon di bursa. Pasalnya, pajak harus menjadi instrumen untuk mendorong perusahaan mengurangi emisinya. Ini akan menciptakan permintaan dan penawaran di pasar karbon yang seimbang.
Kendati demikian, Inarno menghimbau agar ekspektasi pasar saat bursa karbon diluncurkan pada September nanti tidak terlalu tinggi. Menurutnya, Indonesia menerapkan skema bursa karbon yang rumit sehingga perlu proses agar bisa berjalan maksimal. Selain didukung oleh instrumen pajak, bursa juga nantinya harus ditopang oleh ketentuan cap and trade atau penentuan batas atas emisi.
“Kalau lihat di Eropa itu butuh bertahun-tahun juga sampai bursa karbon di sana berjalan bagus,” katanya.
Inarno menuturkan saat ini Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) sudah masuk ke Kementerian Hukum dan HAM. Menurut rencana, beleid ini akan diluncurkan pada awal Agustus mendatang. Salah satu poin yang diatur berupa persyaratan untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. Nantinya, tidak menutup kemungkinan terdapat lebih dari satu penyelenggara di bursa karbon Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Ia ingin dampak positif instrumen ini bisa dicapai namun pada saat yang sama pihaknya juga memperhatikan aspek negatifnya. Meski demikian, ia tak secara gamblang merinci dampak negatif apa saja yang timbul dari penerapan pajak karbon.
"Kita ingin perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan dan stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi," ujar Sri Mulyani awal Juni silam.
Bendahara negara tersebut mengatakan UU HPP yang memperkenalkan pajak karbon telah menetapkan besaran tarif pajak minimal sebesar Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen. Instrumen baru ini semula dijadwalkan meluncur pada awal April tahun lalu. Rencana itu kemudian molor tiga bulan hingga direncanakan baru berlaku pada awal Juli.
Saat itu, Kemenkeu beralasan masih perlu harmonisasi aturan dan mempertimbangkan pemulihan ekonomi. Namun, rencana penerapan awal Juli pun kembali batal.