Investasi Hijau Akan Ciptakan 1,6 Juta Lapangan Pekerjaan di 2045

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.
Petugas melakukan perawatan panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Rabu (21/9/2022). Angkasa Pura I mengoperasikan PLTS untuk menyuplai energi listrik di gedung parkir bandara sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan energi baru terbarukan guna menekan emisi karbon sekaligus untuk mendukung penyelenggaraan KTT G20 di Bali.
11/8/2023, 11.20 WIB

Kementerian Bappenas memperkirakan investasi hijau akan menciptakan 1,66 juta lapangan pekerjaan per tahun di 2045.

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas mengatakan pemerintah memasukkan rencana pembangunan berkelanjutan dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2025-2045). Emisi dipatok turun hingga 95% di 2045.

Ia mengatakan Indonesia membidik pendapatan per kapita sekitar US$30.300 atau setara dengan negara maju dalam RPJPN 2025-2045. Ini dengan asumsi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencapai 6%-7% per tahun. 

“Penurunan emisi jangan dilihat hanya sekadar menurunkan emisi saja, dan harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi,” katanya. 

Namun, Medrilzam menyoroti jumlah investasi yang dibutuhkan rata-rata sebesar Rp2,377 triliun rupiah per tahun dari 2025-2045 untuk melaksanakan kebijakan ekonomi hijau. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan kebijakan yang mengarah pada penguatan pembiayaan inovatif hijau, seperti blended finance, impact investment, carbon tax, dan lainnya. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan pembangunan berkelanjutan yang minim emisi akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Fabby menyebut target pengurangan emisi terbaru Indonesia dikategorikan sebagai critically insufficient, yang artinya amat jauh dari cukup untuk meredam pemanasan global. 

“Kita perlu melihat NDC Indonesia, di mana terdapat dua sektor yakni sektor transportasi dan industri yang masih belum menunjukkan aksi menuju pemenuhan target net zero, sementara sektor energi sudah ada strategi yang jelas untuk menurunkan emisi GRK,” katanya. 

Ferike Indah Arika, Analisis Kebijakan Ahli Muda Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menekankan kebutuhan akan pembiayaan inovatif selain APBN untuk upaya mitigasi dan adaptasi iklim. Ia membandingkan akumulasi pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim yang diperlukan dalam rentang tahun 2018-2030 mencapai Rp4,002 triliun masih jauh lebih kecil dari pada kebutuhan investasi untuk kebijakan ekonomi hijau.

“Ketimpangan kebutuhan pendanaan yang besar ini, tentu saja tidak bisa hanya dipenuhi oleh APBN yang terbatas,” ujar Ferike.

Nurcahyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Konservasi Energi, Kementerian ESDM memaparkan dari sektor energi, untuk mendorong percepatan pengurangan emisi GRK, pengakhiran operasional PLTU menjadi salah satu kontribusi utama dalam mengurangi emisi pada sektor pembangkit listrik. Nurcahyanto menegaskan, rancangan peta jalan pengakhiran dini operasional PLTU batubara dengan target pemensiunan total kapasitas 4,8 GW PLTU batubara pada 2030 telah dirampungkan dan disampaikan pada Kemenkomarves, Kemenkeu, Kementerian BUMN,dan PT PLN(Persero).

Reporter: Rezza Aji Pratama