Indonesia Makin Gencar Gaet Negara Lain untuk Atasi Polusi Udara

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.
Suasana gedung-gedung bertingkat dan perumahan warga dengan kabut polusi udara di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (7/9/2023).
Penulis: Nadya Zahira
6/12/2023, 09.45 WIB

Polusi udara menjadi tantangan mendesak, menurut Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman, Investasi, dan Luar Negeri Kadin Indonesia Shinta Kamdani. Pemerintah pun terus menawarkan kerja sama dengan berbagai negara untuk mendorong penggunaan energi bersih.

"Pertumbuhan ekonomi hijau dan bahan bakar alternatif seperti biofuel atau bioetanol menawarkan peluang menurunkan tingkat polusi udara dan emisi karbon, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di industri hijau," ujar Shinta dalam keterangan pers, Rabu (6/12).

Data World Health Organization atau WHO menunjukkan, hampir seluruh populasi global menghirup udara dengan kandungan polutan melebihi batas standar internasional. Ini dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit pernapasan. 

DKI Jakarta juga mengalami peningkatan polusi udara akibat musim kemarau berkepanjangan.

Menurut Shinta, upaya melibatkan kolaborasi internasional antara pemerintah dan mitra non-pemerintah sangat penting untuk mengatasi polusi udara.

“Polusi udara sama dengan masalah kesehatan seperti obesitas. Oleh karena itu, tidak bisa mengharapkan hasil instan melalui pendekatan cepat, melainkan mengubah gaya hidup,” ujar Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin.

Polusi udara berasal dari aktivitas industri dan manusia menggunakan transportasi berbahan bakar minyak atau batu bara. Oleh karena itu, Pemerintah mendorong program elektrifikasi sektor transportasi, dekarbonisasi sektor pembangkit listrik, dan pengelolaan limbah ramah lingkungan.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi alias Kemenko Marves dan Kadin menggenjot kerja sama pemerintah, swasta, dan pelaku usaha global untuk berinvestasi di sektor ekonomi hijau.

Hal itu disampaikan dalam sesi konferensi konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim alias Conference of the Parties 28/COP-28 di Dubai, pada Senin (4/12). 

Sebanyak 123 negara menandatangani 'Deklarasi Uni Emirat Arab tentang Iklim dan Kesehatan'. Deklarasi ini menandai pengakuan pertama di dunia atas perlunya pemerintah melindungi masyarakat dan mempersiapkan sistem kesehatan mengatasi dampak iklim, seperti panas ekstrem, polusi udara, dan penyakit menular.

"Krisis iklim adalah krisis kesehatan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangan pers Sekretariat COP28, Sabtu (2/12). 

Presiden Malawi Lazarus Chakwera menambahkan, negaranya mengalami dampak langsung dari perubahan iklim ekstrem yang membuat puluhan ribu warga mengungsi. Perubahan iklim memicu wabah penyakit menular yang menewaskan ribuan orang.

"Tahun ini, di COP28, kami menyerukan langkah lebih berani ke depan yang memprioritaskan investasi di bidang kesehatan dan kesejahteraan, memastikan transisi adil dari bahan bakar fosil, dan menciptakan masa depan yang lebih sehat bagi kita semua," ujar Lazarus.



Reporter: Nadya Zahira